SECANGKIR KOPI UNTUK PAK JOKOWI

130 views

SECANGKIR KOPI UNTUK PAK JOKOWI
*Sedikit, Pak. Hanya secangkir. Semoga Bapak senang.

Bagaimana kabar hari ini, Pak?
Menghadapi hantaman pandemi kemarin, bahumu kini tampak lebih kokoh.
Setidaknya begitulah harapan penduduk Indonesia.

Advertisements

Desas-desus tentangmu begitu santer menemani obrolan para bapak di warung kopi, belum lagi jagad media sosial. Ramai sekali, pak. Semoga Bapak selalu tabah.

Lalu, bagaimana kabar hari ini, Pak?
Rahangmu tampak begitu keras; mengesankan keteguhan dan ketegasan.
Seharusnya memang begitu.
Menghadapi konsekuensi sebagai bapak pertiwi, bukankah begitu menyita banyak hal? Waktu, tenaga, dan pikiran. Misalnya.

Selamat hari lahir

Secangkir kopi ini,
isinya adalah manis doa kami – sekaligus pahit harapan yang kadangkala dipaksa bungkam oleh kerasnya semesta.
Secangkir kopi ini, khusus dan begitu tulus;

Isinya percakapan triliunan penduduk Indonesia, yang semoga sanggup bapak seruput sedikit demi sedikit: tapi pastikan kopinya habis ya, Pak.

Antara takut dan resah, begitu harap kami besar untuk dapat berkeluh kesah.
Pak, monggo diminum kopinya.

Di hari bahagia ini, semoga bapak cukup senang pula menyeruput kopi sepat yang merekam banyak senyum – sekaligus patah harap penduduk Indonesia.

Sehat selalu, bahagia selalu, sukses selalu:
Untuk bapak, dan untuk kita – Indonesia.

PROYEK PATAH HATI

*Cerita 1*

Barangkali aku terlalu lama berada di persimpangan; sibuk menerka jalan mana yang akan mengantarkanku tepat di semestamu.

Atau barangkali ini ulahmu, sengaja membuatku bingung dan menganggap ini permainan seru; lelucon yang asik.

Padahal hujan sedang deras. Begitu bersemangat membasahi ingatan tentangmu yang sudah susah payah kusembunyikan.

*Cerita 2*

Andaikata siagamu memeluk erat ambiguku, tentu tak perlu ada resah yang mengangkasa; yang berkali-kali hendak membuatku jatuh dan menyerah.

Tapi sungguh beruntung, aku adalah makhluk keras kepala. Sepertimu; membuatku menyerah tak pernah jadi sesuatu yang sederhana.

*Cerita 3*

Semesta seperti memaksaku menerima proyek patah hati; memintaku menyelesaikannya seolah tak ada lagi celah harapan.

Sekali lagi, kukatakan: semesta salah orang. Aku tak pernah bermaksud menyerah semudah ini. Apalagi melihat tatapmu yang dalam; menyimpan jawaban yang kucari dengan penuh hati-hati.

*Cerita 4*

Aku selalu sanggup lebih tabah. Bahkan dari ucapan manis yang kau tebar di sepanjang jalan. Aku selalu yakin ada sepersekian kemungkinan dalam ketidakmungkinan. Selalu ada celah harapan selagi keyakinan masih kugenggam erat.

Kamu salah; jika bermain-main dengan perempuan sepekat aku. Kamu keliru.

*Cerita 5*

Syahdan,

Tidak ada yang sederhana dari sajian secangkir kopi. Terlebih aku telah bersusah payah menjadi barista sekaligus pramusaji; Hanya untuk menemuimu di sebuah simpang perjalanan.

*Cerita 6*

Lalu, di ujung langit manakah kita akan bertemu? Sebagai tamu, atau dalam satu titik temu?

SURGA DI ATAS SAJADAH

Suatu kali aku melihat di matamu ada rumah yang menawarkan teduh. Lupa kutanya siapa sang empunya.

Sementara di lain waktu kulihat tatapmu penuh binar bahagia yang mengalahkan penerangan lampu neon di keramaian pasar malam. Tak sempat kutanya kau peroleh dari mana.

Tiap kali kusempatkan melihat lebih jauh pada manik matamu, selalu ada yang luar biasa memikat di sana. Meski acapkali disayangkan, tak sanggup kutanya lebih jauh tentangnya.

Hingga suatu waktu kau berbisik

“Ada surga di atas sajadah,”

“banyak yang dapat kau pinta dan ambil secara cuma-cuma di sana”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan