Sore. Saya membungkuk bersama kawan saya di balik juntaian padi yang menguning, di antara petak-petak sawah yang sangat luas menjurus ke sebuah laut. Angin senja menyisir persawahan dengan sangat lembut diiringi cericit burung pipit yang memakan padi yang masih utuh di batangnya atau sisa padi yang sudah dipanen oleh pemiliknya. Seorang kakek sedang mendekat dengan mengendarai sepeda ontel ke sebuah petak sawah yang padinya sudah siap panen beberapa hari ke depan. Dibawanya jhajhan ghennak (kembang-kembang dan jajanan pasar) yang dibungkus dengan daun pisang. Kami mengikutinya dari belakang. Sore yang semakin remang membuat kami semakin ahli dalam berkamunflase.
Setelah kami menemukan tempat persembunyian yang tepat untuk mengintai sang kakek, kakek merunduk di sebuah pojok petak sawah. Ya, kembang-kembang dan jajanan pasar ditaruh di situ, dengan menyulut asap kemenyan di atas bara kulit kelapa. Maghrib segera datang, kakek pun kembali pulang. Kami yang masih dalam persembunyian pelan-pelan mengambil jajanan yang ditaruh kakek itu. Kami memakannya dengan penuh rasa senang. Hari yang menyenangkan untuk diceritakan ke teman-teman di surau nanti. Dan mungkin juga kelak kepada anak-anak kami yang sudah tak lagi bisa melakukan hal yang sama.
…
Cerita di atas merupakan pengalaman saya di kampung halaman waktu masih kanak-kanak. Waktu panen padi tiba merupakan waktu yang sangat menyenangkan bagi kami sebagai anak desa. Memakan jajanan pasar yang ditaruh oleh orang yang padinya mau panen secara gratis tentu pengalaman sangat berharga. Mungkin lebih berharga daripada makanan yang dijajakan di restoran. Ya, jajanan beserta kembang-kembang itu sebagai sedekah padi menjelang panen tiba (ada juga yang menyebutnya slametan padi). Mungkin orang banyak mengenalnya lebih pada sedekah bumi. Tapi, begitulah cara orang-orang terdahulu dalam menghargai bumi yang sudah memberikan segalanya kepada kehidupan manusia.
Di kampung saya, sedekah padi biasanya dilakukan seminggu atau maksimal tiga hari sebelum hari panen padi tiba. Tidak tahu asal-usulnya dari mana, tapi mungkin sudah menjadi bagian dari kearifan lokal di desa saya. Kebanyakan orang akan datang ke sawahnya (biasanya sore menjelang maghrib) untuk menaruh jajanan tersebut serta dibakarnya kemenyan. Mungkin itu semacam mitos yang dipercaya oleh masyarakat agar hasil panen menjadi berkah dan melimpah. Terlepas dari mitos ataupun tidak, hal tersebut merupakan kearifan lokal masyarakat dalam menghargai hasil bumi yang Tuhan berikan.