Barangkali tak ada yang lebih biadab, ketimbang peristiwa pemerkosaan massal. Yang sengaja dilakukan tanpa moral. Maka, meski berkali-kali ingin dihapus segala jejak-jejak masa lalunya, yang ada hanya akan mengutuk dan terus mengekal di ruang digital.
Sejarah merupakan guru bangsa yang menjadi salah satu acuan arah kehidupan. Dengan mempelajari dan memahami sejarah, maka suatu bangsa dapat belajar dari kesalahan masa silam serta membangun arah masa depan menjadi lebih baik.

Namun, sejarah juga dapat menjadi arena perdebatan dan polemik ketika fakta-fakta sejarah dipertanyakan atau bahkan ditepis. Peristiwa kerusuhan Mei 1998 adalah salah satu contoh bagaimana sejarah dapat menjadi bahan perdebatan yang sengit.
Pernyataan Menteri Kebudayaan Republik Indonesia Fadli Zon yang menyebut bahwa kekerasan seksual dalam peristiwa Mei 1998 merupakan “rumor” yang membutuhkan dukungan bukti konkret telah memicu kemarahan publik dan perdebatan yang luas.
Pernyataan Fadli Zon tersebut tidak hanya mempertanyakan kebenaran sejarah, tetapi juga mengabaikan pengalaman para penyintas kekerasan seksual.
Peristiwa kerusuhan Mei 1998 bukanlah peristiwa fiktif, melainkan tragedi nyata dalam sejarah Indonesia yang telah meninggalkan luka yang mendalam bagi para korban. Oleh karena itu, pernyataan Fadli Zon dapat dikategorikan sebagai bagian dari reviktimisasi, yaitu tindakan yang membuat korban kembali mengalami trauma psikologis dan sosial akibat pengabaian atau penyangkalan atas pengalaman sensitif yang dialami.
Sebagai bangsa yang ingin maju dan berkembang, kita harus mampu memahami dan menghormati sejarah kita sendiri. Kita harus mampu belajar dari kesalahan masa silam dan membangun arah masa depan yang lebih baik. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mempertahankan kebenaran sejarah dan menghormati pengalaman para penyintas kekerasan seksual Mei 1998.
Dalam penulisan ulang sejarah Indonesia, kita harus memastikan bahwa kebenaran sejarah tetap terjaga dan pengalaman para penyintas kekerasan seksual Mei 1998 tidak diabaikan atau disangkal. Kita harus memastikan bahwa sejarah kita tidak digunakan sebagai alat untuk memperkuat budaya impunitas terhadap pelanggaran HAM berat, melainkan sebagai alat untuk mempromosikan keadilan dan pengakuan atas hak asasi manusia.
Dengan demikian, kita dapat membangun fondasi kejujuran kolektif yang kuat dan mempromosikan budaya empati dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Kita harus memastikan bahwa para penyintas kekerasan seksual Mei 1998 mendapatkan keadilan dan pengakuan atas pengalaman mereka, sehingga mereka dapat memulihkan diri dan melanjutkan hidup dengan martabat dan harga diri yang terjaga.
Kita juga harus memastikan bahwa pemerintah dan lembaga terkait bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat yang terjadi selama kerusuhan Mei 1998. Mereka harus memastikan bahwa keadilan dan pengakuan atas hak asasi manusia menjadi prioritas utama dalam penulisan ulang sejarah Indonesia.
Dengan memahami dan menghormati sejarah kita sendiri, kita dapat membangun masa depan yang lebih baik dan lebih adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita harus memastikan bahwa kebenaran sejarah tetap terjaga dan pengalaman para penyintas kekerasan seksual Mei 1998 tidak diabaikan atau disangkal.
Dengan demikian, kita dapat mempromosikan keadilan dan pengakuan atas hak asasi manusia, serta membangun fondasi kejujuran kolektif yang kuat. Maka, barangkali tak ada yang lebih kerdil, dari pada keadilan yang disembunyikan dengan sengaja.