Pagi ini angin kencang berembus, dedaunan nyiur melambai-lambai, baliho-baliho usang di jalanan berkibar-kibar. Langit cerah seperti biasa, tapi tidak dengan hatiku dan ribuan orang di sekitarku. Suasana desa begitu sepi, tidak ada tukar sapa warga yang berlalu lalang, tidak ada anak-anak yang berjalan kaki ke sekolah, tidak ada riuh penjual sayur dan penthol yang berkeliling. Beberapa rumah kosong, beberapa tetangga sudah pergi meninggalkan desa. Berbagai material rumah yang sekiranya masih bisa digunakan turut mereka bawa. Aku duduk-duduk di teras rumah, mengamati dan memandangi segala yang tersisa dari desa ini, menghirup udara segarnya, merabai tanah suburnya, mungkin untuk terakhir kalinya.
Wajah-wajah ceria warga desa telah sirna. Begitu juga dengan wajah Mbok Tuti yang sedang menyapu halaman rumahnya. Walau sebenarnya untuk apa dia menyapu, toh nanti siang halamannya sudah tidak lagi bisa diinjak. Barangkali karena itu sudah menjadi rutinitasnya. Barangkali karena dia sudah tidak tahu lagi mesti melakukan apa. Barangkali itu adalah ucapan perpisahannya pada halaman tercinta yang sudah ia belai-belai selama bertahun-tahun. Ah… Mbok Tuti, kau bakar pula daun-daun kering yang telah kau kumpulkan itu.
Di samping rumah Mbok Tuti ada rumah Lek Darman. Teras rumahnya ditongkrongi oleh lima bapak-bapak, termasuk bapakku. Mereka semua adalah petani, dan mereka tidak ke sawah hari ini. Buat apa? Toh nanti siang sawah mereka sudah tidak bisa lagi dipijak. Padahal padi-padi yang bapak rawat sudah hampir menguning. Sebagai tulang punggung keluarga, bapak sudah bingung sejak tiga hari yang lalu. Bingung akan dibawa ke mana nanti keluarganya setelah sawah, rumah, dan desanya tidak bisa lagi diinjak. Kami mendapat konpensasi 122,5 juta rupiah, mungkin akan buat rumah kecil entah di mana. Yang lebih parah adalah pecahan keluarga seperti Mbok Tuti, mereka hanya mendapat santunan 29 juta rupiah. Padahal menurut aturan relokasi semestinya setiap keluarga bisa mendapatkan kompensasi sampai 150 juta rupiah. Warga desa kami terbilang taat dalam beribadah, langgar-langgar selalu penuh ketika waktu salat tiba. Seandainya warga kami kurang iman, mungkin sudah banyak yang stres menghadapi kenyataan ini.
Sedangkan di ujung desa sana, kontruksi tanah sudah dibentuk hingga sedemikian rupa. Sisi-sisi menjulangnya dicor semen begitu tebal. Kendaraan-kendaraan berat berbaris rapi─ekskavator, truk moleen, truk pasir, kontainer. Sepanduk baru bertengger di sana-sini, bertuliskan Bendungan Cemara Panjang. Katanya orang-orang berpakaian rapi dan yang mengurus pembangunan bendungan itu, air akan tiba di sana pagi ini. Dan semuanya akan tenggelam pada pukul 10.30 WIB.
Aku masih duduk di teras, pakaian dan barang-barang berharga sudah aku kemasi bersama ibu kemarin. Dari ujung jalan terlihat Mbok Tarmi menuntun kambing-kambingnya pulang. Ia usai menggembala kambing-kambingnya di tanah lapang dekat bendungan.
“Mereka sudah datang,” ucap Mbok Tarmi kepada Mbok Tuti yang sekarang juga sedang duduk-duduk di teras.
“Yang berpakaian rapi-rapi itu to?”
“Iya. Ayo-ayo segera pergi, segera ke atas.” Lanjut Mbok Tarmi memberitakan pada bapak, juga yang lainnya.
Orang-orang beranjak, bergegas mengambili barang-barangnya, lalu berduyun-duyun meninggalkan rumah masing-masing menuju dataran yang lebih tinggi. Segala material rumah seperti kayu dan besi diangkutkan ke bak truk, lalu dipindahkan ke suatu tempat. Desa menjadi benar-benar sepi. Tidak ada satu orang dan satu hewan ternak pun.
Di sana orang-orang rapi dan berseragam itu datang dengan kawalan aparat keamanan yang ketat. Mereka disambut oleh para petinggi, camat dan orang-orang penting lainnya. Mereka diberi tempat khusus, kursi yang empuk, dan aneka wejangan. Seolah-olah kedatangan mereka adalah berkah. Seolah-olah mereka telah melakukan hal yang benar. Kemudian salah seorang dari mereka maju ke depan mikrofon. Bapak setengah baya itu berbicara panjang lebar, membuka peresmian bendungan yang tidak lain juga peresmian penenggelaman rumah kami, desa kami. Suaranya terdengar cukup keras disampaikan lewat sound speaker, di antaranya adalah:
“Kami pemerintah juga sadar bahwa ini belum selesai 100 persen, namun kami berkomitmen untuk menyelesaikan masalah yang nanti masih ada tersisa, untuk kita selesaikan. Tidak ada nawaitu pemerintah untuk menyengsarakan rakyatnya. Pasti tiap upaya pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.”
Benarkah yang dikatakannya? Tapi kenapa kami seperti terasingkan? Apakah kehilangan rumah dan pekerjaan bisa dikatakan sejahtera? Atau sejahtera bagi mereka? Kami yang berkerumun, duduk berjejer-jejer beralaskan rumput ini, merasa aneh mendengarnya. Masalah yang tersisa? Masalah kami bahkan seperti belum terurus secuilnya. Apakah benar pemerintah akan menyelesaikan masalah yang mereka buat sendiri? Apakah mereka akan mencarikan tempat tinggal dan pekerjaan baru untuk kami. Kalaupun iya, tetap rumah dan kehidupan yang pernah kami miliki itu takkan pernah bisa tergantikan sepenuhnya.
Pukul 10.30 WIB. Sirene mengaung-ngaung, penyekat bendungan dibuka, air mengalir deras mengguyur tanah lapang dan sawah, dan merambat dengan cepat. Orang yang tadi berbicara menggunakan mikrofon itu meresmikan bendungan dengan tanda tangan di atas marmer. Kami hanya bisa melihat dari ketinggian dengan wajah sendu. Melihat kehidupan dan kenangan manis kami bersama desa ditenggelamkan. Mbok Tuti dan Mbok Tarmi menitikkan air mata.
“Orang-orang yang jatuh dari kapal saja dicari sampai menghabiskan uang miliaran, lah ini yang hidup malah ditenggelamkan,” keluh Lek Darsam yang duduk tidak jauh dariku.
“Laya, ayam-ayam saja punya kandang masa manusia enggak,” sahut Mbok Tuti yang juga tidak jauh dariku.
Kami masih di sana cukup lama, hingga air itu mencapai pagar-pagar rumah kami. Orang-orang mulai berhamburan, tiada lagi yang bisa diharapkan dari desa kami. Tatapan mata ayah kosong. Itu baru desa kami, desa yang paling dekat dengan bendungan, sedangkan air itu nantinya akan menenggelamkan 28 desa, dengan luas 4.983 Ha. Di desa-desa setelah kami, warganya mungkin juga sedang bergegas ke dataran tinggi. Menunggu air benar-benar mencapai pagar-pagar rumah lalu pergi. Ada sebanyak 45.000 jiwa yang terpaksa mencari tempat tinggal baru akibat proyek ini. Sedangkan orang-orang di atas bendungan sana bertepuk tangan, tertawa-tawa puas, saling berjabat tangan, dan berfoto ria.
“Ayo, Nak, mau sampai kapan di sini?” kata ayah mengagetkanku sambil merangkul pundakku.
“Mau tidak terima dan memberontak seperti apa pun, paling-paling juga hanya ditangkap oleh petugas keamanan. Kita yang waras mengalah saja, langit sudah mencatat semuanya.”
Aku tersenyum mendengarnya, aku bangga dengannya. Dia bisa menerima semuanya dengan lapang dada. Padahal dialah penanggung beban terberat dalam keluarga. Kuambil ranselku yang tergeletak di tanah. Aku yang diapit oleh ayah dan ibu akhirnya berlalu meninggalkan tempat itu. Belum terlalu jauh kami berjalan, aku berhenti, menengok ke belakang. Air sudah semakin tinggi, tentu sudah masuk ke dalam rumah. Selamat tenggelam desaku kataku dalam hati. Dengan hati yang kutegar-tegarkan, kakiku kupaksakan untuk melangkah lagi.
Jepara, Desember 2021.