Sorot mata yang menuntut keadilan memang selalu menggelisahkan. Dul Karim telah menghabiskan dua linting keretek, sementara gagak berbulu sehitam sulang itu masih bertengger di atas dahan pohon akasia. Tatapannya tajam dan menusuk, seolah-olah hendak menelanjangi dosa besar Dul Karim, mengabarkan petaka, dan meminta pertanggungjawaban.
***
Udara terasa pekat. Awan seputih kapas dan langit bak gelaran tirai biru. Dari sela rimbun daun akasia masih tampak puncak Gunung Suroloyo —lebih tepat dikatakan bukit, serupa nasi yang dicetak menggunakan mangkuk agar berbentuk bulat sempurna— memunggungi langit.
Dul Karim terus mengayuh sepeda. Bulir keringat sebesar biji jagung mengaliri pelipisnya. Baru beberapa kali kayuhan, ia harus menghentikan laju sepedanya. Sebab, runcingnya bebatuan kapur bukan tidak mungkin akan menggelincirkan Dul Karim berikut sepedanya.
Sejatinya, Dul Karim telah mengangguk setuju. Diresmikan dengan tanda tangannya di atas meterai sepuluh ribu. Ia sudah membaca seluruh perjanjian yang tertulis sebelum ujung pena di tangannya menggores tinta di atas kertas putih. Itu artinya Dul Karim berhak atas cek seratus juta sebagai imbalan keikutsertaannya dalam penandatanganan izin tambang. Tetapi, Dul Karim sama sekali tidak menyangka bila kebahagiaan mengantongi uang sebanyak itu harus dibayar mahal dengan kondisi yang dialami saat ini.
Sesungguhnya, Dul Karim masih tidak percaya bisa memegang uang seratus juta. Jumlah yang tiada disangka-sangka sebelumnya. Dalam benaknya, ia tidak perlu menanam padi dan jagung beberapa tahun ke depan untuk memenuhi kebutuhan. Sebab, uang itu akan mencukupi semuanya, demikian pikir Dul Karim.
“Belikan motor, juga, ya, Pak. Orang-orang beli motor. Murti malu kalau ke mana-mana cuma pakai sepeda,” rengek anak pertamanya yang sebentar lagi merayakan kelulusan SMK. Telah lama ia mengidam-idamkan sepeda motor sebagaimana teman-temannya miliki. Maka, ketika mengetahui bapaknya menerima bonus atas izin lahan tambang yang cukup besar, Murti pun lekas-lekas mengutarakan keinginan itu. Maka, keesokan harinya sebuah motor matik tiba di rumah Dul Karim.