SEPTEMBER YANG TERLUKA
Buat para perempuan yang mengalami kekerasan
september tiba,
seperti api yang lupa padam,
membakar di balik tirai jendela,
di ruang-ruang gelap yang tak pernah tahu
apa itu kelembutan.
ada suara patah
di antara detak jam dan hentakan kaki,
perempuan-perempuan menelan tangis
seperti meneguk kopi pagi:
pahit,
tak ada kata pengantar.
mereka bilang,
cinta adalah benturan,
tapi siapa yang bilang bahwa kulit
boleh dipenuhi retak seperti dinding tua?
Siapa yang ajarkan bahwa cinta
membawa pukulan dan diam yang dingin?
di punggung September,
ada nama-nama yang hilang dalam riuh,
ada mimpi yang terseret derasnya hujan
tanpa pernah tahu bagaimana cara berteriak.
tapi aku tahu,
suara mereka akan kembali,
seperti daun yang jatuh,
tak pernah benar-benar hilang,
hanya menunggu waktu
untuk tumbuh kembali,
menjadi hutan yang tak bisa lagi ditebang
oleh tangan-tangan kasar.
kita akan berdiri di situ,
menjadi saksi,
bahwa September tak lagi milik luka
tapi milik mereka
yang berani bangkit dari reruntuhan.
Bondowoso, 2024.
SEPTEMBER, TERSISA KESEDIHAN
Teruntuk gadis penjual gorengan yang dibunuh
september tiba, menorehkan luka di langit malam,
bulan purnama seperti hantu yang membisu,
di bawah sinarnya, ada suara yang tercekat,
menggema dalam ruang yang terlalu sunyi.
ada yang merintih di dalam dinding hati,
luka-luka yang tersembunyi dalam kepedihan,
kekerasan yang membara dalam kesunyian,
memadamkan harapan, menyisakan gelap yang menganga.
mari kita nyalakan api dalam kegelapan,
mengusir kebisuan dan luka yang mengintai,
di bulan September, mari kita berteriak,
melawan kekerasan, untuk secercah cahaya baru.
Bondowoso, 2024.
SENYAP DALAM KEGELAPAN
di bawah langit yang tak bersuara,
ada tubuh yang terkulai,
seperti lembaran kertas usang
yang terabaikan dalam lipatan waktu.
dia, yang dulu berdiri di ambang hari,
kini tersisih dalam bayang-bayang
dari kekejaman yang menulis namanya
dalam tinta merah yang tak bisa dihapus.
dalam sunyi malam yang mencekam,
kematian menyapanya seperti angin dingin,
menghapus jejak-jejak tangis
yang terbenam dalam tanah yang tak bertutur.
langit memandang tanpa rasa,
seperti memori yang tak bisa disentuh,
sementara setiap luka,
menjadi saksi dari suara yang tak pernah sampai.
di sini, di tepi malam yang remang,
kita hanya bisa menatap kosong,
mencoba merajut kembali potongan-potongan
dari cerita yang terlalu cepat berakhir.
kita berdiri,
dalam hening yang berat,
berharap ada makna di balik kesunyian,
dan janji untuk tidak membiarkan
cerita ini tenggelam tanpa jejak.
Bondowoso, 2024.
Ilustrasi: Hadi Prajitno. Kok