Berjarak lima rumah dari kediamanku, ada seorang bisu yang sering membuatku merasa tertampar. Dari segi postur tubuh, dia tidak jauh berbeda dengan orang Jawa kebanyakan. Tidak besar dan tidak pula kecil. Pas.
Usianya mungkin sekitar 45 tahunan. Namun kerasnya hidup telah mencetak beberapa guratan permanen yang sedikit berlebih di usianya yang belum terlalu senja tersebut. Oh iya, panggil saja dia Pak Warsa. Dia adalah bapak dari dua orang anak.
Pak Warsa mempunyai semangat yang sangat tinggi. Bayangkan sebuah jilatan api yang terus menari. Begitulah semangatnya. Meletup-letup kesana-kemari. Terlepas dari keterbatasannya untuk berbicara, dia tetap menunjukkan energi yang membius.
Orang-orang di kampungku seringkali tertawa melihat tingkah Pak Warsa ini. Terlebih saat memperhatikannya berusaha bercerita. Namun aku tahu, bahwa diam-diam, penduduk kampungku mengagumi Pak Warsa ini. Dialah orang yang paling rajin memasang bendera saat Agustus datang.
Saat bulan kemerdekaan itu sudah menampakkan batang hidungnya, biasanya saat itu pula Pak Warsa ini datang berkeliling ke rumah-rumah kami. Dia membawa buku kecil, berisi kolom sederhana. Di mana biasa kami menuliskan nama dan nominal sebelum memberikan uang sumbangan untuk pembelian bendera plastik penghias kampung.
Pak Warsa ini pulalah yang memasang bendera kecil itu. Seringkali sendiri, tapi kadang juga dibantu anak-anaknya dan bocah kecil lainnya. Dan lihatlah, tiap Agustus datang, kampung kami bersolek cantik dengan hiasan bendera-bendera kecil tersebut. Itu semua karena Pak Warsa!
Aku sendiri selalu suka mendengarkan dia berbicara. Mengamati bagaimana ia berusaha dengan sungguh-sungguh menjelaskan maksudnya dengan suara yang sulit aku pahami. Aku juga senang melihat tangannya bergerak-gerak acak. Berusaha membantunya menyampaikan informasi tertentu. Namun sialnya, aku tetap saja tidak paham.
Agaknya Pak Warsa ini adalah sosok yang memang sudah berteman dengan sengsara. Sehingga kata tersebut tidak lagi berwajah menakutkan. Sebaliknya, ia seolah berubah ramah dan mengajarinya banyak rahasia.
Tidak pernah wajahnya menampilkan rasa sedih melihat lawan bicaranya menertawakannya. Tidak pula satu rona kekecewaan terpancar dari matanya. Dia tetap Pak Warsa yang biasa. Rambutnya yang mulai kehilangan warna, tidak lantas berani menggubah kebaikannya.
Pak Warsa bekerja apa saja. Kadang dia menawarkan tenaganya dengan membantu tetangga kiri-kanannya, dia juga mencari kayu yang hanyut dan tertahan di kaki jembatan. Selain itu, dia seringkali membeli buah-buahan lalu ia jual kembali. Dia pun menawarkan jasa cuci piring di hajatan orang-orang. Pak Warsa selalu bergerak. Dia seolah menyadari bahwa geraklah yang membuatnya hidup.
Pak Warsa adalah Pak Warsa. Tidak ada yang lain. Dia unik dengan segala hal yang melekat padanya. Dia sengaja dikirim Tuhan di tengah-tengah kampungku untuk mengajari kami, yang katanya “normal” ini, banyak sekali misteri kebijaksanaan.
______
Di bulan Ramadhan ini, tetap saja Pak Warsa memberikan pelajaran yang mengejutkan bagiku. Seperangkat sound system miliknya sengaja dia letakkan di depan rumahnya. Setiap kali sehabis pulang tarawih dari surau dekat rumah, dan melintasi depan rumah Pak Warsa, aku selalu merasa ditampar habis-habisan.
Meringis aku mendengarkan Pak Warsa mengaji. Melantunkan ayat-ayat Tuhan. Dia mengaji dengan menggunakan sound system pribadinya. Sehingga suaranya lantang sekali terdengar. Seorang bisu yang mengaji, dengan pengeras suara pribadinya. Silakan bayangkan sendiri.
Jangan berdebat masalah tajwid, tartil, atau benar salah huruf yang keluar dari mulut Pak Warsa ini. Tentu dia kalah telak dibanding orang-orang “normal” yang ada di luar sana. Tetapi bagiku, Pak Warsa tidak hanya sedang mengaji al-Quran secara teks. Namun lebih jauh lagi, dia sedang mengaji tentang hidup, sambil mendendangkan isi hati dan perasaannya dengan suara parau tak jelas.
Saat itulah, saat mendengar suaranya itu, aku diam-diam membayangkan, apa yang sedang sosok bisu itu rasakan saat membaca ayat suci Tuhan? Kesedihankah? Kegetiran? Merasa nelangsa? Aku bertanya-tanya, apakah dia juga muak dengan keterbatasannya? Apakah dia ingin memprotes segalanya? Atau jangan-jangan malah sebaliknya? Dia bersyukur dengan apa yang ada, merangkul keterbatasannya, dan malah merasa kasihan kepada orang-orang “normal” yang terlampau banyak bicara? Entahlah…
______
Suatu malam, selepas tarawih. Entah di malam keberapa. Ibuku sempat berujar lirih, “Pak Warsa itu sebenarnya sangat cerdas, le”. Aku hanya tersenyum dan mengamini hal itu. Berkali-kali, dalam hati. Dengan masih pikiran yang menjalar kesana-kesini.
“Buk, mungkin diantara jeda mengaji, dengan sembunyi-sembunyi, Pak Warsa juga tersenyum mengerti. Membayangkan dan berterima kasih pada Tuhan, yang telah memberinya sunyi….” bisikku sendiri.