Ini bukan tentang pria tampan nan kaya yang digandrungi banyak perempuan bernama Boy seperti dalam film Catatan Si Boy. Juga bukan tentang seorang tetangga yang kita panggil “Boy” karena mungkin namanya Boimin. Tapi tentang tren tatanan rambut perempuan Arab Saudi! Kok bisa? Inilah faktanya.
Rasanya, sepanjang sejarahnya, baru kali ini tren mode rambut perempuan Arab Saudi menjadi sorotan dan perbincangan media-media di dunia. Sebab, sejak merdeka dari Kesultanan Turki dan menjadi negara sendiri pada 1932, Kerajaan Arab Saudi mewajibkan secara ketat semua perempuan mengenakan abaya, pakaian longgar yang menutup seluruh tubuh. Dus, tak pernah ada yang membincangkan rambut perempuan Arab Saudi karena selamanya tertutup rapat. Tak pernah terlihat oleh mata pria bukan muhrim.
Ketika belum lama ini aturan yang mewajibkan perempuan menyembunyikan rambutnya di depan publik tersebut akhirnya dicabut, wanita Arab memiliki kebebasan untuk “unjuk mahkota”: “memamerkan” rambutnya di mana saja, kapan saja, kepada siapa saja.
Di tanah Arab Saudi sana, kini kita bisa mendapati pemandangan baru: banyak perempuan, yang tua, yang muda, atau anak-anak berlalu lalang di pusat-pusat keramaian dengan wajah terbuka dan rambut tergerai karena tak lagi mengenakan hijab atau jilbab. Hal yang sebelumnya dianggap tabu dan melanggar syariat.
Dan untuk merayakan kebebasannya itu, para perempuan Arab mulai menata ulang model rambutnya. Dan salah satu yang paling digandrungi adalah model si “boy” itu. Model rambut perempuan yang dipotong pendek seleher. Entah kenapa disebut model “boy”. Mungkin karena modelnya seperti rambut pria, alias boy. Sejatinya, model rambut “boy” pernah dipopularkan oleh Demi Moore melalui film Ghost yang dirilis tahun 1990. Saat itu, tatanan rambut Demi Moore ini disebut model bob.
Hari-hari ini, kaum Hawa Arab Saudi banyak yang membanjiri salon-salon kecantikan untuk menyempurnakan dandanan mereka, termasuk mengubah tampilan rambut. Dari mulut mereka banyak terucap kata “boy” ketika sang hair stylist bertanya soal model rambut seperti apa yang diinginkan. Dari salon-salon kecantikan itu, para perempuan Arab Saudi akhirnya tampil di depan publik laiknya pria, seperti si “Boy”, dengan rambut pendek — yang boleh terpandang oleh siapa saja.
Visi 2030 vs Syariat
Dunia kemudian bertanya-tanya: kenapa Arab Saudi, yang selama ini dikenal sebagai negara paling ketat dan keras dalam mempraktikkan syariat Islam dan menjadi kiblat dunia Muslim, karena dari sana risalah Islam bermula, begitu saja memberi kebebasan kepada kaum perempuan?
Rupanya, semua bermula dari Visi 2030 Arab Saudi yang diusung sang Putra Mahkota, Muhammad bin Salman (MBS). Oleh Raja Salman, MBS diberi mandat untuk menjalankan Visi 2030 Arab Saudi. Melalui Visi 2030, Kerajaan Arab Saudi akan melakukan modernisasi secara revolusioner dan visioner. Melalui Visi 2030 itu, Arab Saudi bertekad menjadi pusat dunia Arab dan Islam, kekuatan investasi dunia, dan pusat yang menghubungkan tiga benua, yakni Asia, Afrika, dan Eropa.
Untuk mewujudkan cita-cita itu, Arab Saudi tak ingin lagi “meninggalkan” kaum perempuan. Bahkan, perempuan Arab harus didorong untuk terlibat aktif atau berpartisipasi dalam menyukseskan program-program pembangunan di segala bidang. Itu artinya, perempuan Arab Saudi harus diberi kebebasan untuk menentukan pilihan hidup, mulai dari masalah profesi dan pekerjaan, hiburan dan liburan, hingga cara berbusana. Contoh kecil, misalnya, perempuan di sana sudah boleh menyetir kendaraan sendiri —sesuatu yang sebelumnya juga tabu. Contoh lain, perempuan Arab Saudi juga sudah boleh menghadiri konser musik atau menyesaki lapangan bola. Mereka juga boleh bepergian keluar negeri sendirian. Dan, contoh teranyar (belum tentu yang terakhir), boleh tak lagi mengenakan jilbab —simbol terkuat perempuan muslim!
Tentu, apa yang terjadi di Arab Saudi belakangan ini akan kembali menghadapkan sebagian besar umat Islam dunia pada perdebatan tentang aurat —hingga ke bandul formalisme Islam. Kita tahu, dari tanah Arab risalah Islam itu bermula, dan dari sana pula ajaran Islam menyebar ke berbagai penjuru dunia —termasuk penyebaran Wahabisme. Kemudian, pada tanah Arab pula akhirnya perkembangan dunia Muslim berkiblat sampai pada hal yang remeh temeh, termasuk di dalamnya cara berbusana seorang muslim dan utamanya muslimah.
Seperti di banyak belahan dunia, termasuk di Indonesia, mula-mula ajaran Islam masuk ke suatu daerah dengan cara saling bergumul berkelindan dengan tradisi-tradisi lokal, termasuk dalam hal bagaimana umat Islam dan utamanya kaum perempuan muslim harus berbusana. Sampai dengan kira-kira era 1970-an, apa yang disebut dengan istilah jilbab, hijab, niqab, burqa, atau cadar nyaris tak dikenal oleh muslimah Nusantara. Yang lazim dipakai saat itu adalah kerudung, selembar kain yang cukup disampirkan di kepala. Bahkan, para perempuan atau nyai yang aktif di Muslimah Nahdlatul Ulama (NU) dan Aisyiyah Muhammadiyah ketika itu juga cukup berkerudung dalam beraktivitas di ruang publik.
Apa yang kini disebut sebagai busana muslim seperti jilbab, hijab, niqab, burqa, atau cadar itu baru mulai popular beberapa tahun belakangan, terutama sejak era Reformasi, bersamaan dengan arus masuk ideologi transnasional seperti Wahabisme dan Khilafahisme. Hingga kemudian, tren formalisme Islam begitu mengental sampai-sampai di sejumlah lembaga publik atau sekolah umum ada aturan yang mewajibkan tiap muslimah mengenakan jilbab. Bahkan, pernah terjadi kasus, seorang pejabat nonmuslim diusir dari suatu daerah karena berkunjung tanpa mengenakan hijab.
Ada sinisme “Arabisasi” dalam menyikapi tren itu, justru ketika di Arab Saudi sendiri terjadi “relaksasi” terhadap formalisme agama. Ini semacam paradoks. Dalam konteks ini, ada dua pembacaan yang bisa dilakukan terhadap apa yang terjadi di Arab Saudi itu. Pertama, Kerajaan Arab Saudi menyadari adanya “kebijakan yang keliru” di masa lalu, dalam hal ini salah satunya adalah aturan-aturan yang “membelenggu” kaum perempuan. Maka, untuk mencapai kemajuan seperti yang dicanangkan dalam Visi 2030, belenggu itu harus diudar.
Kedua, apa yang terjadi di Arab Saudi “menyadarkan” kita bahwa apa yang disebut aurat dan bagaimana cara menutup aurat adalah sesuatu yang “tafsirable” —setidaknya diperlukan tafsir baru yang kontekstual dengan zaman dan kesetempatan. Sesungguhnya ini bukan perkara baru. Begitu banyak kitab klasik yang sudah memperdebatkan masalah ini berabad-abad lalu. Tafsir terbaru dan menyedot perhatian datang dari Muhamad Syahrur, pemikir Islam dari kota Damaskus. Ia dikenal sebagai pemikir liberal yang selalu menggulirkan isu liberalisasi syariat dan dekonstruksi tafsir.
Salah satu isu yang dia tafsir ulang adalah masalah aurat perempuan. Setelah menelusuri teks-teks Al-Qur’an, hadis, dan kitab-kitab klasik, dalam kitabnya yang berjudul Nahwa Ushul Jadidah lil Fiqhil Islami (2000), Syahrur berkesimpulan seperti ini; “Aurat itu datang dari rasa malu, yakni ketidaksukaan seseorang dalam menampakkan sesuatu, baik dari tubuhnya maupun perilakunya. Dan rasa malu ini relatif, bisa berubah sesuai dengan adat istiadat. Maka dada (al-juyub) adalah permanen, sedangkan aurat berubah-ubah menurut zaman dan tempat.”
Dengan batasan seperti itu, aurat bagi Syahrur adalah “apa yang membuat seseorang malu jika terlihat”. Ia juga menyimpulkan bahwa aurat itu tidak ada kaitannya dengan halal-haram, baik dilihat dari dekat maupun dari jauh. Maka secara kebahasaan, aurat itu relatif.
Kita belum tahu, apakah dengan Visi 2030 itu berarti Arab Saudi sudah mulai meninggalkan Wahabisme dan kemudian mendasarkan kebijakannya pada tafsir dari Syahrur. Yang jelas, dengan mencabut aturan yang mewajibkan perempuan berjilbab, Arab Saudi telah memberikan kebebasan kepada kaum perempuan untuk menentukan pilihan sendiri bagaimana cara terbaik dalam berbusana. Dan akan terus bermunculan si “Boy” dari Arab Saudi.