Di suatu kota, terdapat sebuah rumah sakit yang diperuntukkan bagi korban perang. Ratusan korban perang ditampung di tempat tersebut. Memang pada masa itu, perang menjadi sesuatu yang sangat jamak ditemui. Setiap senggolan ringan pasti diakhiri dengan perang, seolah-olah perang telah menjadi jawaban mutlak untuk semua gesekan. Semua orang, baik yang suka perang maupun yang benci, yang tua maupun muda, kaya atau miskin, duda atau berkeluarga, semua terseret arus tersebut. Mereka semua diperah tenaganya, dan dipaksa terjun ke medan perang.
***
Suatu hari, seperti hari-hari biasanya, rumah sakit tersebut kedatangan pasien baru. Seorang pemuda dengan kaki hancur terkena ledakan ranjau. Kakinya hancur, dagingnya berserakan, dan darah mengucur deras dari kakinya. Dia ditempatkan di sebuah ruangan sempit yang sebenarnya bukanlah sebuah ruangan rawat. Ruangan itu sebenarnya adalah ruangan administrasi yang berukuran kira-kira 4×5 meter persegi. Ruangannya pengap dan sempit, hanya ada sebuah jendela berukuran 40×40 sentimeter di dinding.
Hanya ada dua orang di ruang itu, si pemuda tadi dan seorang kakek yang entah sejak kapan menjadi penghuni ruang pengap itu. Tempat tidur kakek itu berada persis di sebelah jendela tersebut, sedangkan dipan pemuda itu berada agak jauh dari sana. Setiap hari, pemuda tersebut hanya berbaring di kasurnya. Itu karena kakinya yang hancur baru saja diamputasi. Kondisi itu menghalangi geraknya. Sekaligus, membuat mulutnya yang terus mengumpat. Tiada lagi anggota badan yang bebas dia gerakkan.
Dengan sedikit kesal, dia berteriak kepada si kakek teman sekamarnya itu, yang setiap pagi dan sore selalu menatap keluar jendela.
“Hey Pak Tua!” teriak pemuda itu kesal. “Apa yang kau lihat di luar sana? Kenapa kamu suka sekali melihat jendela bangsat itu?” Rasa jenuh bercampur nyeri di kaki dan badanya telah membuat pemuda itu menjadi kasar.
Orang tua itu tetap pada posisinya, menatap khusyuk keluar jendela, tidak bergerak dan tertarik dengan omelan pemuda itu. Pemuda itu pun semakin kesal dan berteriak-teriak mengumpat orang tua tersebut. Begeitu terus dalam waktu yang sangat lama.