Ketika ditanya karakter apa yang idealnya dimiliki seorang anak, banyak muslim di Indonesia menjawab, akhlak. Di pesantren, di sekolah, di pelajaran agama, di mimbar, di buku-buku, akhlak digambarkan sebagai kepatuhan total yang tak pernah diceritakan sampai mana batasnya, hingga menoleransi otoritarianisme, tindakan pejoratif, dan pengabaian terhadap kemanusiaan dan empati terhadap yang lebih muda.
Pelajaran akhlak umumnya tersaji dalam bentuk seragkaian deskripsi-deskripsi perilaku untuk tiap situasi sosial yang seakan mutlak selalu seragam dari satu ke lain tempat ataupun orang. Dalam pelajaran akhlak, situasi sosial digambarkan sebagai sesuatu yang statis. Implikasinya, kapan deskripsi-deskripsi perilaku itu mendapat pengecualian, atau bahkan tidak berlaku, tidak pernah diceritakan.
Dengan kata lain, ada ketimpangan narasi dalam menceritakan dan mengajarkan akhlak. Dalam wacana mainstream, akhlak berwujud dalam bentuk tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Akhlak akhirnya menjadi aparatus pembentuk dan kontrol kualitas manusia yang lebih muda, sambil menyajikan alasan-alasan pelarian bagi yang lebih tua untuk menutup pintu koreksi kesalahan-kesalahannya, baik berupa pemikiran, keputusan, ataupun sikap. Ini memang tidak mutlak terjadi pada semua orang, tetapi pembaca dapat merefleksikan sejauh mana intensitasnya terjadi.
Hubungan keduanya dapat menjadi lebih kompleks bila ditempatkan dalam satu masalah yang determinan bagi nasib hidup salah satu pihak. Di situ, biasanya akan terlihat bagaimana konflik kepentingan membajak argumentasi-argumentasi akhlak sebagai perisai.
Hal ini menunjukkan dua hal. Pertama, akhlak tidak netral, yakni ia dapat mudah diinstrumentalisasi untuk memiliki keberpihakan. Kedua, sisi lain akhlak (the other side of the coin), yakni kontrol kualitas manusia yang lebih tua agar yang muda layak memberikan akhlak padanya, tidak pernah mendapat perumusan ataupun penekanan yang imbang sebagaimana kontrol kualitas terhadap yang muda.
Orang dapat mengutip ayat ataupun hadis tentang pentingnya kasih sayang dan lemah lembut terhadap yang lebih muda untuk menyanggah hal ini. Tetapi ayat ataupun hadis itu terbatas sebagai kutipan yang baru muncul bila ada protes soal evaluasi praktik akhlak secara keseluruhan.