Solidaritas dari Sikat Gigi

Hidup di pesantren itu selalu penuh cerita. Ada kisah lucu, absurd, kadang bikin geleng-geleng, tapi justru itu yang bikin kangen. Salah satu tempat lahirnya cerita, selama pengalaman saya mondok, ada di kamar mandi. Lebih tepatnya, kamar mandi umum.

Di pondok saya, Pondok Pesantren Hubulo Gorontalo, asrama putra punya dua kamar mandi umum yang besar. Di dalamnya, ada bak air panjang bentuk huruf L. Fungsinya jelas: opsi darurat kalau nggak mau antre di kamar mandi privat.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Apalagi kalau bel sudah bunyi dua kali—tanda sebentar lagi bel panjang berbunyi. Di momen ini, antre di kamar mandi privat bukan opsi yang tepat. Ini sama saja seperti mengerjakan tugas di menit-menit akhir. Risiko, antara kelar atau tidak. Giliran kelar, hasilnya patut dipertanyakan.

Buat santri yang jadwalnya padat tapi tak mau terlambat, kamar mandi umum adalah penyelamat. Sekali masuk, tinggal pilih spot, siram air, beres. Karena kalau sampai terlambat sedikit aja, nama bisa nongol di daftar “mahkamah”—sidang internal pondok yang katanya lebih menegangkan daripada sidang skripsi.

Nah, di antara penghuni kamar mandi umum, ada kelompok unik yang kami sebut SMS. Bukan Short Message Service, tapi Santri Modal Sikat.

Sesuai namanya, modal mereka cuma satu: sikat gigi. Tak ada sabun. Sampo pun tak. Tapi entah bagaimana, tiap keluar dari kamar mandi mereka selalu kelihatan segar, wangi, dan percaya diri. Rahasianya? Cuma satu kalimat sakti: “Qolil yah” (sedikit yah).

Begitu masuk, SMS langsung memindai target—siapa yang bawa sabun dan sampo cair. Kalau sudah ketemu, mereka mulai mendekat pelan-pelan, senyum tipis, terus ngobrol basa-basi dulu. Semua dilakukan santai, seolah itu bagian dari budaya luhur pondok.

Kalau saya perhatikan, biasanya pelaku SMS adalah santri senior. Pas masih baru, orang tua pasti ingin anaknya betah, jadi peralatan mandi selalu lengkap, stok dan kiriman dari rumah intens. Tapi begitu masuk tahun kedua atau ketiga, kiriman mulai jarang, uang saku makin tipis.

Daripada beli sabun, mending uangnya dipakai buat kebutuhan lain. Ditambah lagi, mungkin karena merasa sudah besar, santri senior kadang gengsi minta tambahan uang ke rumah. Makanya, SMS jadi solusi instan: wangi tanpa bikin dompet kering.

Jumlah pelaku SMS sebenarnya tak banyak. Tapi karena lingkungan pondok “sosial banget”, kebiasaan ini cepat menular. Awalnya cuma satu orang yang nitip sikat gigi di alat mandi teman, tapi lama-lama sikat giginya jadi banyak? Sabun dan sampo pemiliknya pun menyusut dengan drastis.

Alhasil, Tim Santri Mandi Mandiri (kita sebut saja begitu, sebutan untuk lawan dari SMS) mulai memikirkan siasat penghematan. Ada yang menyembunyikan sabun di lemari. Ada juga yang sengaja bawa peralatan mandi seadanya biar tak menarik perhatian. Tapi ada juga yang akhirnya ikut-ikutan jadi SMS demi bertahan hidup.

Dari Sikat Gigi ke Sikap Hidup

Kalau dipikir-pikir, fenomena SMS ini ada sisi lucunya, tapi juga banyak pelajaran di sana. Ini bukti santri jago beradaptasi. Modal kecil, hasil maksimal—asal pintar memanfaatkan jaringan sosial.

Kamar mandi umum itu semacam “kelas kehidupan” yang tak ada di buku pelajaran. Dari sabun yang berpindah tangan, sampo yang dipakai bareng, sampai sikat gigi yang jadi senjata utama—semuanya cerita tentang kebersamaan. Di balik keisengan SMS, ada solidaritas, kemampuan diplomasi, dan strategi bertahan hidup.

Tapi ya, tetap harus ingat: hidup tak sesimpel numpang sikat gigi. Berbagi itu indah, tapi kemandirian juga penting. Kita juga mesti membiasakan diri untuk memberi daripada meminta. Itulah cara menjaga harga diri dan rasa hormat—baik pada orang lain, maupun pada diri sendiri.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan