Bu Mariye adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal di sebuah kampung di pinggiran kota. Ia memiliki suami yang bekerja sebagai tukang ojek dan tiga orang anak yang masih sekolah. Dia adalah orang yang sederhana, rajin, dan jujur. Ia selalu berusaha untuk menyenangkan keluarganya dengan memasak, mencuci, dan membersihkan rumah.
Suara Bu Mariye adalah salah satu harta yang paling ia banggakan. Ia memiliki suara yang merdu dan indah. Ia sering menyanyi di acara-acara kampung, seperti hajatan rakyat, arisan, atau pernikahan. Orang-orang di kampungnya sangat mengagumi suara Bu Mariye. Mereka selalu memuji dan memberi semangat kepadanya.
Bu Mariye juga suka menyanyi di rumah. Ia sering menyanyi sambil memasak, mencuci, atau membersihkan rumah. Suara Bu Mariye membuat rumahnya terasa hangat dan ceria. Suaminya dan anak-anaknya sangat menyayangi ibu Mariye. Mereka selalu mendengarkan dan menghargai suaranya.
***
Sebelum menjelang bulan pemilu, pencuri mulai menyurvei perkampungan. Mereka melihat bahwa kampung itu adalah tempat yang potensial untuk dicuri suaranya. Mereka melihat bahwa orang-orang di kampung itu adalah orang-orang yang mudah ditipu. Mereka tidak tahu apa-apa tentang politik dan demokrasi. Mereka hanya tahu tentang hidup sehari-hari.
Pencuri suara itu juga melihat bahwa Bu Mariye adalah salah satu orang yang paling populer di kampung itu. Mereka melihat bahwa Bu Mariye memiliki suara yang bagus dan banyak penggemar. Mereka berpikir bahwa jika mereka bisa mencuri suara Bu Mariye, mereka bisa mencuri suara banyak orang lain di kampung itu. Mereka berpikir bahwa Bu Mariye adalah target yang sempurna.
***
Pada suatu hari, pencuri itu datang ke rumah Bu Mariye. Mereka datang di siang hari, saat suami dan anak-anak Bu Mariye sedang keluar. Mereka berpura-pura sebagai tim relawan dari partai politik yang mereka dukung. Mereka membawa baju, topi, dan selebaran yang bertuliskan nama partai dan calonnya.
Mereka mengetuk pintu rumah Bu Mariye dengan ramah. Ibu Mariye yang sedang memasak di dapur, mendengar suara ketukan. Ia pun keluar untuk melihat siapa yang datang. Ia terkejut melihat ada empat orang asing yang mengenakan atribut partai politik di depan pintunya.
“Halo, ibu. Kami dari Partai Parah (pantang nyerah). Kami datang untuk menyapa dan mengajak ibu untuk mendukung partai kami di pemilu nanti,” kata salah satu tim relawan dengan senyum manis.
“Ibu tahu kan, partai kami adalah partai yang paling peduli dengan rakyat. Partai kami memiliki visi dan misi yang jelas untuk membangun negeri ini menjadi lebih baik. Partai kami juga memiliki calon yang berkualitas dan berintegritas. Calon kami adalah orang yang berpengalaman dan berprestasi. Calon kami adalah orang yang bisa membawa perubahan positif untuk Indonesia,” kata tim relawan lainnya dengan nada meyakinkan.
“Ibu, kami harap ibu mau mendukung partai kami. Kami harap ibu mau memberikan suara ibu untuk partai kami. Kami harap ibu mau menjadi bagian dari perjuangan kami. Kami harap ibu mau menjadi bagian dari sejarah Indonesia,” kata tim relawan ketiga dengan nada mengharu-biru.
“Ibu, kami tidak datang dengan tangan kosong. Kami membawa hadiah untuk ibu. Ini adalah baju dan topi dari partai kami. Ini adalah selebaran yang berisi program-program partai kami. Ini adalah uang sebesar lima ratus ribu rupiah. Ini adalah beras sebanyak sepuluh kilogram. Ini adalah sembako yang berisi minyak, gula, kopi, teh, dan lain-lain. Ini semua adalah tanda terima kasih kami kepada ibu. Ini semua adalah tanda cinta kami kepada ibu,” kata tim relawan keempat sambil menyerahkan barang-barang yang mereka bawa.
Bu Mariye yang mendengar semua itu, merasa bingung dan terkejut. Ia tidak tahu harus bagaimana. Ia tidak tahu apa-apa tentang partai politik yang mereka maksud. Ia tidak tahu siapa calon yang mereka pilih. Ia tidak tahu apa visi, misi, dan program mereka. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan barang-barang yang mereka berikan.
Ia merasa bingung dan terkejut, juga merasa tergoda dan tergiur. Ia melihat barang-barang yang mereka berikan. Ia melihat baju dan topi yang berwarna-warni. Ia melihat selebaran yang berisi gambar-gambar menarik. Ia melihat uang yang banyak. Ia melihat beras yang banyak. Ia melihat sembako yang banyak.
Bu Mariye yang merasa bingung, terkejut, tergoda, tergiur, kasihan, dan bersyukur, akhirnya menyerah dan menerima. Ia menyerah pada godaan dan rayuan mereka. Ia menerima barang-barang yang mereka berikan. Ia menerima tawaran mereka untuk mendukung partai mereka. Ia menerima janji mereka untuk membawa perubahan. Ia menerima undangan mereka untuk datang ke acara kampanye mereka.
Tanpa rasa sadar ia telah kehilangan suaranya. Ia tidak sadar bahwa ia telah dicuri suaranya. Ia tidak sadar bahwa ia telah ditipu dan dibodohi. Ia tidak sadar bahwa ia telah menjual harga diri dan martabatnya. Ia tidak sadar bahwa ia telah mengkhianati prinsip dan keyakinannya.
Pencuri suara yang melihat Bu Mariye seperti itu, merasa senang dan puas. Mereka merasa berhasil dan sukses. Mereka merasa pintar dan cerdik. Mereka merasa bangga, berkuasa dan berjaya. Mereka itu pun pergi meninggalkan rumah Bu Mariye. Mereka pergi dengan membawa suara Bu Mariye. Mereka pergi dengan membawa suara banyak orang lain di kampung itu. Mereka pergi dengan membawa suara rakyat Indonesia.
***
Pencuri itu tidak peduli dengan nasib banyak orang lain di kampung itu. Mereka tidak peduli dengan nasib rakyat Indonesia. Mereka hanya peduli dengan nasib partai mereka. Mereka hanya peduli dengan nasib calon mereka. Mereka hanya peduli dengan nasib diri mereka sendiri. Mereka yakin akan keluaknnya itu tidak akan ada yang tahu bahwa ada orang yang melihat mereka. Ada orang yang menyaksikan aksi mereka. Ada orang yang mengetahui rencana mereka. Ada orang yang tidak setuju dengan cara mereka. Ada orang yang tidak suka dengan tujuan mereka. Ada orang yang ingin menghentikan mereka.
Orang itu adalah Pak Budi. Pak Budi adalah seorang caleg yang masih peduli dengan perjuangan membangun demokrasi dan keadilan. Pak Budi adalah seorang caleg yang masih punya idealisme dan integritas. Juga masih mau berjuang untuk rakyat. Pak Budi juga tetangga Bu Mariye. Ia tinggal di seberang rumah Bu Mariye. Ia sering melihat dan mendengar Bu Mariye menyanyi. Ia sering berbincang dan bertukar pikiran dengan Bu Mariye. Ia mengenal dan menghormati ibu Mariye. Pak Budi juga adalah caleg dari partai yang berbeda dengan partai pencuri suara. Ia adalah caleg dari partai yang bersih dan transparan. Ia adalah caleg dari partai yang visioner dan inovatif.
Ketika itu Pak Budi sedang berada di rumahnya, saat ia melihat pencuri suara datang ke rumah Bu Mariye. Ia curiga dengan maksud dan tujuan mereka. Ia pun mengintip dari jendela rumahnya. Ia terkejut melihat apa yang mereka lakukan. Ia marah melihat apa yang mereka katakan. Ia sedih melihat apa yang Bu Mariye lakukan.
Pak Budi tidak bisa diam dan tidak bisa tahan. Ia pun keluar dari rumahnya. Ia berlari mengejar pencuri suara. Ia berteriak memanggil ibu Mariye.
“Ibu Mariye, ibu Mariye, jangan terima apa yang mereka berikan! Jangan percaya apa yang mereka katakan! Jangan dukung partai mereka! Jangan jual suara ibu! Jangan jual harga diri ibu! Jangan jual martabat ibu! Jangan jual prinsip ibu! Jangan jual keyakinan ibu! Jangan jual Indonesia!” teriak Pak Budi dengan suara lantang dan penuh emosi.
Pencuri suara yang mendengar teriakan Pak Budi, kaget dan panik. Mereka berhenti dan menoleh. Mereka melihat Pak Budi yang sedang berlari dan berteriak. Mereka mengenal Pak Budi sebagai caleg dari partai saingan. Mereka benci Pak Budi karena mengganggu rencana mereka. Mereka takut Pak Budi karena bisa membongkar aksi mereka.
Pencuri suara pun berbalik dan berhadapan dengan Pak Budi. Mereka berempat melingkari Pak Budi. Mereka berempat menatap Pak Budi dengan tatapan sinis dan menantang.
“Siapa kamu? Apa urusan kamu? Kenapa kamu ikut campur? Kenapa kamu menghalangi kami? Kamu mau apa?” tanya salah satu pencuri suara dengan nada sombong dan menghina.
“Saya adalah Pak Budi. Saya adalah caleg dari partai rakyat sejahtera. Saya adalah tetangga ibu Mariye. Saya adalah sahabat ibu Mariye. Saya adalah orang yang peduli dengan ibu Mariye. Saya adalah orang yang peduli dengan rakyat. Saya adalah orang yang peduli dengan Indonesia,” jawab Pak Budi dengan nada tegas dan berani.
“Kamu tidak punya hak untuk mengganggu kami. Kami sedang melakukan pekerjaan kami. Kami sedang melakukan tugas kami. Kami sedang melakukan kewajiban kami. Kami sedang melakukan hak kami. Kami sedang melakukan demokrasi,” kata pencuri suara lainnya dengan nada sok dan angkuh.
“Kamu tidak tahu apa-apa tentang pekerjaan kami. Kamu tidak tahu apa-apa tentang tugas kami. Kamu tidak tahu apa-apa tentang kewajiban kami. Kamu tidak tahu apa-apa tentang hak kami. Kamu tidak tahu apa-apa tentang demokrasi,” kata pencuri suara ketiga dengan nada ejek dan sinis.
“Kamu hanya tahu mengganggu kami. Kamu hanya tahu menjelek-jelekkan kami. Kamu hanya tahu menuduh-tuduh kami. Kamu hanya tahu menghalang-halangi kami. Kamu hanya tahu menghancur-hancurkan kami. Kamu hanya tahu menghancur-hancurkan demokrasi,” kata pencuri suara keempat dengan nada marah dan benci.
Pak Budi tidak takut dan tidak mundur. Ia tetap berdiri dan berbicara. Ia tetap berani dan berjuang. Ia tetap peduli dan bertanggung jawab.
“Kamu semua adalah pencuri suara. Kamu semua adalah penipu rakyat. Kamu semua adalah pengkhianat bangsa. Kamu semua adalah musuh demokrasi. Kamu semua adalah musuh Indonesia,” kata Pak Budi dengan suara keras dan tegas.
“Kamu semua tidak punya malu dan tidak punya hati. Kamu semua tidak punya nurani dan tidak punya rasa. Kamu semua tidak punya moral dan tidak punya etika. Kamu semua tidak punya visi dan tidak punya misi. Kamu semua tidak punya program dan tidak punya solusi. Kamu semua tidak punya apa-apa selain uang dan kekuasaan,” kata Pak Budi dengan suara tinggi dan keras.
“Kamu semua tidak layak untuk menjadi wakil rakyat. Kamu semua tidak layak untuk menjadi pemimpin bangsa. Kamu semua tidak layak untuk menjadi bagian dari Indonesia. Kamu semua harus dihukum dan harus diadili. Kamu semua harus diusir dan harus disingkirkan. Kamu semua harus dihapus dan harus dilenyapkan,” kata Pak Budi dengan suara nyaring dan lantang.
Pak Budi tidak sendirian dan tidak sepi. Ada orang-orang yang mendengar suaranya. Ada orang-orang yang melihat aksinya. Ada orang-orang yang mengerti maksudnya. Ada orang-orang yang setuju dengan tujuannya. Ada orang-orang yang ikut dengan gerakannya. Ada orang-orang yang bersama dengan perjuangannya.
Orang-orang itu adalah warga kampung Bu Mariye. Mereka adalah orang-orang yang juga kehilangan suaranya. Mereka adalah orang-orang yang juga dicuri suaranya. Mereka adalah orang-orang yang juga ditipu dan dibodohi. Mereka adalah orang-orang yang juga menjual harga diri dan martabatnya. Mereka adalah orang-orang yang juga mengkhianati prinsip dan keyakinannya.
Orang-orang itu adalah orang-orang yang sadar dan menyesal. Mereka sadar bahwa mereka telah salah. Mereka menyesal bahwa mereka telah bodoh. Mereka sadar bahwa mereka telah kehilangan suaranya. Mereka menyesal bahwa mereka telah dicuri suaranya. Mereka sadar bahwa mereka telah menjual Indonesia. Mereka menyesal bahwa mereka telah mengkhianati Indonesia.
Orang-orang itu adalah orang-orang yang ingin berubah dan memperbaiki. Mereka ingin berubah menjadi lebih baik. Mereka ingin memperbaiki kesalahan mereka. Mereka ingin berubah menjadi lebih pintar. Mereka ingin memperbaiki pilihan mereka. Mereka ingin berubah menjadi lebih cinta. Mereka ingin memperbaiki Indonesia.
Orang-orang itu pun keluar dari rumah-rumah mereka. Mereka berbondong-bondong menuju tempat Pak Budi. Mereka beramai-ramai mendukung Pak Budi
Mereka beramai-ramai mendukung Pak Budi. Mereka berteriak-teriak menyuarakan Pak Budi. Mereka bersorak-sorak menegaskan Pak Budi.
“Kami bersama Pak Budi! Kami bersama Pak Budi! Kami bersama Pak Budi!” teriak mereka dengan suara kompak dan lantang.
“Kami tidak mau dicuri suara kami! Kami tidak mau ditipu rakyat kami! Kami tidak mau dikhianati rakyat kami”