bincang santai dengan mahasantri Ma'had Aly Attarmasi

Suara Perempuan Aurat?

137 views

Beberapa waktu lalu, penulis diajak selawatan dan berbincang santai dengan para mahasantri Ma’had Aly Al-Tarmasi. Bincang santai itu mengusung tema “Menghapus Stereotype Perempuan Hanya Orang di Balik Panggung”.

Meskipun di dalam yang santai tapi agak serius, obrolan santai itu terbilang seru karena membincangkan tentang perempuan dari kacamata para perempuan itu sendiri.

Advertisements

Sampai pada sesi diskusi, alias tanya jawab, penulis disodori beberapa pertanyaan yang sebenarnya lebih pas disebut “curhatan mbak-mbak banat” ini dalam menghadapi kehidupan sebagai perempuan di lingkungan pondok. Problematika yang dihadapi perempuan di manapun ternyata tidak jauh berbeda. Entah itu di lingkungan pondok maupun di dunia luar.

Di zaman modern ini, ternyata masih ada yang menganggap suara perempuan adalah aurat. Hal ini penulis ketahui dari salah satu mahasantri yang bertanya, “Bagaimana untuk menjadi mahasantri yang aktif, namun di sisi lain mendapat tekanan bahwa perempuan itu tidak boleh terlalu menonjolkan dirinya karena ia adalah sumber fitnah, bahkan suaranya adalah aurat.

Dari beberapa sumber diketahui bahwa hadis yang menyebut “shoutul mar’ah aurah” itu dhaif. Selain mengelus dada dan menggelengkan kepala, penulis juga masih terheran-heran atas ungkapan perempuan adalah sumber fitnah dan suaranya adalah aurat. Padahal posisinya adalah sama-sama sebagai pelajar, sama-sama mendapatkan hak belajar yang sama, belajar kitab yang sama, diajar guru yang sama, sama-sama makan nasi pula.

Sebagai sesama makhluk Tuhan, hendaknya kita tidak boleh memandang rendah manusia yang lain. Menganggap perempuan sebagai sumber fitnah, sudah tidak lagi relevan diterapkan pada zaman ini. Dunia ini sudah berputar sangat berbeda dengan zaman dahulu ketika hadis tersebut muncul. Banyak kejadian dan peristiwa yang terjadi amat sangat berbeda keadaannya dengan apa yang terjadi pada zaman Nabi. Begitu pula hukum fikih, beberapa cabang ilmu fikih sifatnya fleksibel disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Jika menilik ke belakang, Sayyidah Aisyah ra disebutkan meriwayatkan 2.210 hadis dan ada kurang lebih seperempat dari produk hukum fikih di kalangan ulama bersumber darinya. Lantas, dengan apa Sayyidah Aisyah menyampaikan hadis dan fatwa fikih tersebut? Dengan lisan tentu saja. Jika begini, relevankah masih berpikir bahwa suara perempuan adalah aurat?

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan