Saban malam Senin dan Kamis, Wagio mendapat bagian menjaga posko RT 01 bersama Sarji. Mereka berdua sangat disiplin dalam menjaga ketertiban dan keamanan kampung dari hal-hal yang tidak diinginkan. Selama mereka dipercaya menjaga posko, keadaan kampung semakin tenteram dibandingkan sebelum mereka mendapat bagian menjaga. Sebelumnya, kampung itu yang sangat rawan kehilangan dan sering kali terjadi kegaduhan pemuda kampret dengan kampung sebelah.
Bagi Wagio, menjaga keamanan warga adalah kewajibannya. Ia sanggup bertanggung jawab, bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Begitu pun dengan Sarji yang sepanjang Senin dan Kamis menghabiskan waktu bersama Wagio berjaga di posko. Sarji memang terbilang baru menjadi penjaga di posko, beda dengan Wagio yang memang sudah pemain lama.
Konon, sebelum Wagio mendapat amanah menjaga tempat itu, anyak terjadi pencurian. Sering warga kehilangan sapi, motor, dan sebagainya. Namun, beruntung semenjak Wagio dipercayai menjaga ketertiban dan keamanan, situasi terlihat lebih tenteram dan aman. Wagio dipercaya warga sebagai pembawa perubahan di lingkungan.
“Kamu ada rokok?” tanya Sarji seperti orang nyaris mati setelah seharian tanpa rokok.
“Tidak ada, malam ini aku lagi seret!” jawab Wagio sembari menyandarkan kepalanya ke tiang bambu. “Tunggu sajaj, Ji. Malam ini pasti ada rokok dan nanti kita juga bisa makan,” ucapnya lagi sambil menghela napas.
“Ah..! Aku seharian belum merokok, rasanya lelah hidup.”
“Nanti kita rokok, Ji. Kira-kira satu-dua jam lagi, aku pulang ambilkan makanan dan beli rokok. Kamu harus berjaga di sini, jangan berkeliaran ke mana-mana selama aku pergi nanti”
“Itu gampang, itu urusanku.”
***
Sarjiman yang sudah tidak tahan lagi menahan lapar dan ingin merokok, masuk ke warung kelontong milik istri Wagio. Ia mengendap-endap mencari celah-celah yang sekiranya muat buat tubuhnya. Malam itu sangat tenang, tak seorang pun orang-orang berseliweran di sana. Sarjiman memang sudah sangat mahir dan berpengalaman dalam hal mengambil barang milik orang-orang yang lengah.
“Rokok surya gudang garam lima bungkus, satu kardus indomie, satu karung beras berisi lima kilo, satu lusin telur gireng, satu botol minyak goreng, dan beberapa minuman bersoda. Aku kira ini sudah cukup. Kapan-kapan lagi bila kurang, aku akan datang Kembali tempat ini,” gumam Sarji. Ia bergegas keluar toko. Dengan santai ia kembali ke posko menemui Wagio yang lima menit yang lalu datang membawa rokok dan makanan.
“Aku bawa banyak makanan, kamu cari batu bata, dan kita buat tungku. Nanti masak nasi, indomie, dan telur,” ucap Sarjiman mengagetkan Wagio yang sedang berjaga sendirian.
Wagio sangat bersemangat mencari batu bata. Ia menyanjung-nyanjung Sarjiman yang kurang dari satu jam sudah bisa membawa makanan dan minuman.
“Kamu ngerti banget apa yang aku butuhkan, rokok. Kamu tidak seperti teman-teman yang lain, mereka pada pelit-pelit,” ucap Wagio sambil tertawa bangga.
“Nyalakan apinya, jangan kebanyakan ngegosip. Udah kayak emak-emak saja kamu,” kata Sarjiman.
Mereka berdua terlihat menikmati makanan yang habis mereka masak. Wagio seperti orang kelaparan yang bertahun-tahun tidak makan. Sementara Sarjiman menikmati makanan dengan gaya khasnya yang santai.
“Sehabis makan nanti sampah-sampahnya kita bersihkan,” celetuk Sarjiman.
“Mana rokoknya?” tanya Wagio.
“Ada di sana,”
“Mantap!” Wagio mengambil sebatang rokok dan menyulutnya.
***
Empat bulan, Wagio rutin berjaga rutin di posko tanpa absen. Ia tidak terlihat seperti beberapa bulan yang lalu. Kini tubuhnya gendut. Ia juga sering sakit-sakitan akibat banyak lemak di tubuhnya. Sedang Sarjiman masih seperti biasanya dengan tubuh bugar, meski usianya sudah tidak lagi muda. Wagio tetap rutin berjaga di posko bersama Sarjiman. Karena ia sudah berjanji akan menemani Sarjiman, asalkan ia bisa makan, merokokz dan ngopi.
“Apa kamu lapar, butuh makanan, rokok dan kopi?” tanya Sarjiman.
“Tentu saja kawan, seperti biasa,” jawab Wagio.
“Tunggu di sini, aku akan membawa apa yang kamu mau.”
“Siap! Aku menjaga dan menunggumu di sini.”
“Santai saja kalau sama aku. Yaudah aku berangkat. Tunggu di sini.”
Sarjiman kembali berburu makanan. Kali ini bukan di toko kelontong milik istri Wagio. Ia merasa bosan setelah tiga belas kali di sana. Malam ini, Sarjiman mengambil satu ekor kambing di kandang Wagio. Ia langsung menyembelihnya di tempat, dan memotongnya kecil-kecil.
“Man, apaan yang kamu bawa?” tanya Wagio terkaget-kaget.
“Ini daging bebek utuh. Malam ini kamu akan makan yang lebih enak dari pada malam-malam sebelumya,” ucap Sarjiman.
“Kamu tunggu di sini, Man. Aku ambil beras dan bumbu di rumah.”
Wagio pulang dan memanggil istrinya buat menikmati bebek bersama. Setiba di posko, Sarjiman masih berada di luar. Istri Wagio terlihat sangat senang, karena akan menikmati daging bebek kesukaannya. Mereka lama menunggu Sarjiman yang tak kunjung datang. Tanpa terduga istri Wagio mengambil daging setakar satu ekor bebek, dan dibawanya pulang tanpa sepengetahuan Sarjiman. Diam-diam Sarjiman memperhatikan tingkah mereka dari kejauhan. Sarjiman sangat tidak menyangka melihatnya.
“Sendirian. Mana istrinya?” tanya Sarjiman dengan muka santai setelah mendekat ke posko.
“Dia tidak mau datang ke sini, katanya jika malam dia penakut.”
“Langsung kita eksekusi saja”
***
“Man, kenapa aku tak enak badan begini ya? Aku pulang duluan,” kata Wagio.
“Beh! Kenapa kamu?”
Wagio pulang sendirian menembus malam. Sarjiman mempersilakan Wagio pulang lebih awal. Setelah tiba di rumahnya Wagio baru ingat, ia memiliki riwayat darah tinggi, begitu juga dengan istrinya. Padahal, keduanya begitu banyak memakan daging kambing. Sangat disayangkan, mereka terlambat diselamatkan.
Krapyak/Yogyakarta, 2024.