Pagi itu, beberapa menit sebelum subuh, Ibu membangunkanku untuk bergegas menuju masjid. Suara cemprengnya yang dikeluarkan sedikit berteriak itu membuat telinga kecilku seperti ditusuk-tusuk dari dalam.
“Ayo, Bang, bangun! Nanti tak ada yang azan di masjid,” teriak Ibu dari dapur setelah beberapa kali membangunkanku. Kuakui, dalam persoalan tidur aku memang sedikit tamak.
Mendengar nada suara Ibu yang semakin tinggi, sekuat tenaga aku mencoba mambangkitkan badan, meski kedua mataku masih sulit terbuka. Aku segera berjalan menuju kamar mandi yang terletak di dapur. Kulihat Ibu sedang sibuk menanak nasi. Tangan kanannya yang menggenggam segelas air membuatku curiga, “Jangan-jangan, kalau barusan tidak segera bangun aku akan disiram air itu. Huh, untunglah aku cepat-cepat bangun,” batinku.
Memang beberapa waktu lalu, karena tak kunjung bangun, Ibu benar-benar menyiramku di atas tempat tidur. Satu jebor malahan! Seluruh kepalaku basah kuyup. Saat itu, seperti biasa Ibu sudah beberapa kali membangunkanku. Mungkin, karena mendengar suaraku yang hanya “Ha, hem, ha, hem . . . ,” ia kemudian emosi dan jadilah aku mandi pagi-pagi.
Sesudah sempurna berwudhu dan siap-siap berangkat ke masjid, seperti biasa aku akan meminta Ibu mengantar. Jangan tanya mengapa. Hari masih begitu gelap. Ditambah, jarak dari rumah ke masjid juga bisa dibilang cukup jauh. Aku tak punya nyali kalau harus berangkat sendirian. Apalagi setelah mendengar cerita teman-teman soal hantu pocong membuat hatiku semakin ciut. Aku berani jamin kalau teman-teman sebayaku juga tidak berani keluar rumah sendirian saat masih gelap-gelap begini. Hih. . . .
Ibu sudah siap dengan senter di tangannya. Sebelum menutup pintu, biasanya ia akan berpamitan pada Bapak yang masih tidur di kamar, “Kuantar dulu anakmu ini ke masjid,” ucap Ibu sedikit berteriak. Aku selalu berpikir, kenapa harus berpamitan kalau Bapak masih belum bangun? Apa mungkin akan didengarkan? Kenapa juga bukan Bapak saja yang mengantarku? Ah, iya. Mungkin karena Bapak harus menyimpan tenaganya karena mesti berangkat kerja pagi-pagi buta.
Ibu tidak mengantarku sampai di masjid. Tapi hanya sampai di kelokan terakhir menuju masjid. Biasanya, dari ujung sini Ibu akan menerangi jalanku dengan senter yang ia genggam. Untungnya, senter itu terang. Sehingga, meskipun ibu tidak di dekatku aku tetap tidak kegelapan. Kalau saja sepanjang jalan menuju masjid dipasang lampu, mungkin aku tak perlu minta diantar. Payah.
Cahaya senter tak terlihat lagi. berarti, ibu sudah pulang. Segera aku berlari memasuki masjid yang terang-benderang itu. Untuk ukuran desa yang tak terlalu ramai penduduk, masjid kecil ini sudah cukup untuk menampung orang-orang yang mau salat berjamaah. Ya, buat apa masjid besar-besar? Lagi pula masjid hanya akan sesak ketika hari raya saja. Kalu subuh-subuh seperti ini, mungkin dua atau tiga orang saja yang datang.
Saat sudah di dalam, kulihat Pak Mukhlis sedang salat. Padahal, aku masih belum azan. Itu berarti belum lagi waktunya untuk salat subuh. Tapi, kenapa ia salat duluan? Dan anehnya, kegiatan itu selalu ia lakukan setiap hari saat aku tiba di masjid. Orang ini memang aneh. Apakah saat masih seumuranku ia tak pernah mengaji, sehingga tak tahu kapan harus salat subuh?
Aku duduk di bagian belakang menyandar ke tembok, menunggu waktu azan. Biasanya, kalau kumandang azan di desa sebelah sudah terdengar maka aku akan segera menyalakan mesin speaker dan azan juga. Aku tidak begitu paham dengan isi pada kertas warna-warni yang tergeletak di atas mesin itu, yang kata Pak Mukhlis “Itu jadwal azan, Bang.” Ya, aku tak bisa memahami isi jadwal azan itu. Pikirku, mungkin hanya orang-orang dewasa saja yang bisa memahaminya. Bagaimana tidak? Di sana hanya terlihat angka-angka yang banyak dan berdesak-desakan. Cukup rumit bagiku.
Saat Pak Mukhlis selesai melaksanakan salat subuh yang lebih awal itu, sayup-sayup terdengar suara azan dari desa sebelah. Aku bangkit dari dudukku dan segera menghidupkan mesin. Langsung saja kuraih mikrofon dan mengumandangkan azan dengan suara yang, kata orang, “Suara azan Bambang memang terdengar sedap.” Seandainya saja Mita, kembang desa pujaan hatiku, mendengar suaraku ini, ia pasti jatuh hati padaku. Sayangnya, ia bukan muslim. Sekalipun mendengar mungkin ia tak paham dengan azan. Ah, Mita, Mita. Sayang sekali kau tak tahu kalau setiap subuh aku mengumandangkan azan dengan merdu.
Setelah selesai azan, terlihat beberapa orang sudah datang. lima, enam, tujuh. Tidak seperti biasanya, kali ini terlihat ramai. Kecuali Pak Mukhlis dan Pak Basuki, semuanya adalah orang asing. Penampilan mereka tidak seperti orang desa pada umumnya ketika hendak melaksanakan salat. Tak ada seorang pun yang mengenakan sarung. Semuanya memakai celana panjang berwarna hitam. Siapa gerangan mereka ini? Bahkan, ketika salat pun aku tak khusyuk lantaran masih bertanya-tanya tentang siapa orang-orang ini.
Saat salat usai, akhirnya aku mampu memendam pertanyaanku dalam-dalam. Yah, mungkin mereka adalah sanak keluarga Pak Mukhlis atau Pak Basuki atau warga desa yang datang dari luar kota. Benar, buat apa aku memikirkannya? Ada baiknya jika sekarang, seperti biasanya, aku mengaji Al-Qur’an saja. Orang-orang desa sudah terlanjur memuji kegiatanku setiap subuh. Jangan sampai mereka tidak mendengar suara merduku ini. Oh, Mita, Mita. Sayang sekali kau bukan muslim.
Sebelum aku berhasil meraih mikrofon, Pak Basuki sudah lebih dulu menyomot mikrofon tersebut. Eh, apa ia hendak mengaji Al-Qur’an juga?
“Dihaturkan kepada seluruh warga desa Sentausa agar berkumpul di masjid sekarang juga. Sekali lagi, dihaturkan . . . ”
Apa-apaan itu. Kukira, Pak Basuki akan membaca Al-Qur’an. Rupanya, Ia menggunakan speaker masjid untuk pengumuman. Tunggu dulu, apa tadi ia bilang? Menyuruh warga desa berkumpul di masjid? Memangnya ada apa?
“Bambang, Le, ngajinya libur dulu, ya,” ujarnya padaku setelah itu. Aku yang belum mengerti perbuatannya itu tentu saja masih bertanya-tanya. Aku hanya mengangguk menuruti perkataan Pak Basuki.
Langit belum juga sempurna terang. Banyak warga sudah berdatangan ke masjid. Semuanya laki-laki. Mereka duduk di dalam masjid membentuk perkumpulan lingkaran, seperti yang pernah ada pada acara-acara berita saat Ibu dan Bapak menonton televisi. Terlihat Bapak juga ada di antara orang-orang yang sedang berkumpul. Rupanya Bapak tidak berangkat bekerja?
Sementara itu, tampak beberapa ibu-ibu juga berdatangan. Namun, mereka tidak masuk ke masjid. Hanya menunggu di luar seperti sedang menonton. Oh, Ibuku juga ada di sana. Memangnya, apa yang membuat orang-orang ini datang kemari? Apakah akan ada slametan? Kalau begitu, aku duduk di dekat Bapak saja.
“Bapak-bapak sekalian,” Pak Basuki membuka percakapan, “seperti yang sudah saya katakan tempo hari, tanah masjid ini bukanlah tanah wakaf. Tapi hak milik saya.”
“Pak Basuki tidak boleh seperti itu, dong. Demi kemaslahatan bersama, apakah warga desa tidak mempunyai hak atas tanah ini?” Pak Mukhlis menimpali.
Aku sama sekali belum mengerti dengan duduk perkara yang tengah dibincangkan. Wakaf? Maslahat? Hak milik? Apa itu? Mana acara slametannya?
“Bapak-bapak sekalian,” Pak Basuki mulai berbicara lagi, “beberapa orang yang ada di hadapan kita ini adalah orang-orang yang saya datangkan sebagai kuasa hukum saya. Semua dokumen yang diperlukan terkait tanah ini sudah mereka koreksi. Dan hasilnya, tanah ini memang milik saya.”
“Pak Basuki!” kali ini bapak yang angkat bicara, dengan nada tinggi pula, “Jangan hanya karena tak terpilih sebagai kepala desa lantas Bapak mau mengambil tanah ini kembali. Apa Bapak lupa kalau dulu Bapak sudah mewakafkan tanah ini sebagai masjid?” Uh, bapak bentak-bentak! Suaranya itu sama seperti saat memarahiku kalau ketahuan pulang bermain layangan terlalu petang. Aku cukup ketakutan mendengarnya.
Rupanya, ucapan Bapak itu mengantarkan bapak-bapak yang lain riuh. Aku tambah bingung dengan persoalan yang terjadi.
“Ingat, Pak! Mengambil tanah wakaf berarti mengambil milik Tuhan,” ucap seseorang di belakang.
“Jangan berkhianat, Pak! Sikap seperti itulah yang membuat kami tidak memilih Bapak sebagai kepala desa,” timpal yang lain.
“Tenang, bapak-bapak!” suara pak Basuki terdengar meninggi juga, “Kekerasan tidak akan memutuskan apa-apa. Saya punya kuasa hukum di sini. Jangan macam-macam kalian semua kalau tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan!”
Sungguh, mendengar orang-orang dewasa ini bertengkar kakiku terasa gemetar. Rasanya, aku mau mengompol di sarung. Apalagi mendengar kalimat terakhir Pak Basuki itu.
“Saya harap,” lanjut Pak Basuki, “semua kegiatan masjid tidak dilakukan lagi mulai hari ini. Karena, selepas zuhur nanti masjid akan segera digusur. Bapak-bapak tak perlu membantu. Saya sudah membayar orang luar untuk membereskannya.”
Tunggu, apa ia bilang barusan? Masjid mau digusur? Kenapa memangnya? Aduh, ada apa ini?
Setelah ucapan Pak Basuki itu, orang-orang mulai membubarkan diri dengan suara riuh. Tak terdengar suara lain kecuali “Hu . . . , “ yang kompak disorakkan. Wajah mereka terlihat masam; tak nyaman dipandang. Aku mengikuti Bapak dari belakang untuk segera pulang juga. Ibu masih menunggu di depan masjid. Kami pun pulang bersama.
Di tengah jalan menuju rumah, terdengar Bapak bercakap-cakap dengan Ibu.
“Pokoknya, kalau besok masjid belum benar-benar digusur tak perlu lagi mengantar Bambang ke sana. Kita tak perlu terlibat dengan masalah-masalah masjid lagi,” ucap bapak.
“Bang, dengar kata Bapakmu itu,” ujar Ibu padaku.
Aku hanya menunduk dan mengangguk, meskipun belum bisa memahami apa pun. Sedikit yang kutahu bahwa besok, mungkin, aku tak perlu bangun pagi-pagi lagi. Oh, berarti aku tak bisa azan di masjid lagi? Bagaimana kalau orang-orang tak mendengar suara merduku lagi? Oh, Mita, Mita. Rupanya kau memang tak akan mendengarkan kumandang azanku.
Ya Tuhan. Ternyata, subuh tadi adalah subuh terakhirku. Tak ada suara Ibu membangunkan, tak ada jalanan gelap, tak ada Pak Mukhlis yang aneh, dan yang paling sial, tak ada lagi azan merdu yang kupersembahkan buat Mita. Kesenangankah ini? Atau kesengsaraan?
Mantap