Bang Hamsad,
Saat ini (Sabtu, 14 Juni 2025), saya sedang dalam perjalanan ke Jakarta dengan menaiki bus Eksekutif Plus Rosalia Indah. Bus ini istimewa, Bang—dari pelayanan hingga desainnya yang serba modern. Mewah, nyaman, dan sejuk hingga memungkinkan saya nyaman ketika menulis surat ini kepada Abang.


Sudahlah pasti, bus secanggih dan seartistik ini belum ada ketika Bang Hamsad menulis cerpen berjudul Lagu di Atas Bus. Hal ini mudah dideteksi. Tidak perlu tes forensik atau pengecekan keaslian ijazah asli atau palsu. Tapi cukup dengan mengetahui tokoh-tokoh di dalamnya, ketika masing-masing menunjukkan kaset pita kemudian meminta sang sopir mengganti lagu yang diputar di dalam bus. Zaman sekarang mana ada kaset pita. Cukup pakai bluetooth, fladisks, dan USB, beres. Tidak terkecuali lagu kebangsaan, lagu Indonesia Raya, dengan berbagai versi.
Terlepas dari peliknya persoalan ijazah, saya pikir—sebagai cerpenis, mungkin juga mewakili yang lain—kita perlu belajar dari orang-orang yang terlibat dalam drama itu. Belajar apa? Ya, itu, bagaimana mereka membangun narasi dan argumentasi. Tidak ada detail yang terlewat dari kedua belah pihak: penuduh ijazah palsu dan pembela keaslian ijazah, hingga berujung pada sidang pembuktian keaslian di kepolisian.
Menurut saya, ini sudah menyerupai struktur naratif dalam karya sastra: bagaimana pelapor memengaruhi pikiran publik—dan sebaliknya. Imajinasi kolektif digiring dengan sangat halus. Belum usai soal ijazah, muncul isu baru: pemakzulan Wakil Presiden. Bagi saya—dan mungkin publik lain yang lebih memikirkan apa yang bisa dimakan nanti dan besok—isu ini hanya jadi tontonan sambil termangu-mangu di sela konten gelak-tawa artis yang entah apa faedahnya.
Melihat dua narasi itu—ijazah palsu dan pemakzulan—saya jadi teringat cerpen Bang Hamsad, Lagu di Atas Bus. Ahai, cerpen itu! Entah ditulis dalam rangka apa dan terinspirasi oleh apa. Tapi yang jelas, bukan karena isu pemakzulan Wakil Presiden, kan, Bang? Apalagi karena minimnya apresiasi pemerintah terhadap seniman, olahragawan, atau TKI—yang dengan caranya masing-masing mencintai negeri ini, Indonesia.
Misalnya, bagaimana suporter Indonesia di Jepang: ratusan WNI bersama KJRI Osaka dan kelompok Garuda Japan melakukan Pawai Kebangsaan, menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan mempertunjukkan budaya Indonesia di sepanjang jalan utama Osaka (Sabtu malam, 7 Juni 2025). Mereka tahu, kecil kemungkinan Indonesia menang melawan Jepang—tim yang sudah beberapa kali tampil di Piala Dunia. Tapi pesimisme itu tidak tergurat sedikit pun di wajah mereka. Dan benar, Bang: Indonesia kalah telak: Jepang 6–0 Indonesia.
“Hai Mahwi, kau jangan bohong, ya. Masa Indonesia kalah enam? Abang laporin malaikat lho kalau bohong.”
“Tidak bohong, Bang. Kalau Abang tidak percaya, tanya saja mantan pemain timnas di surga!”
“Siapa? Siapa mantan pemain timnas yang ada di sini?”
“Ada, Bang. Namanya Rudy William Keltjes. Ia mantan pemain Persib. Dan masih banyak lagi.”
“Ah, kamu gak update, itu, kan, masanya Abang, dasar tidak cinta tanah air.”
Tapi tenang, Bang. Meski Indonesia kalah telak, kecintaan warga Indonesia baik di Indonesia sendiri maupun di Jepang tak berkurang seujung kuku pun. Tentu hal ini berbeda dengan kecintaan para politisi—yang selalu berteriak “demi negara”, tapi diam-diam mencuri uang dari negara.
***
Tidak, Bang. Dalam surat ini saya tak ingin membahas cerpen Liontin—yang tragis, sadis, sekaligus satir. Bukan karena angkot, latar cerpen itu, kini sudah jarang terlihat di jalanan Jakarta, tapi karena saya malas mengeluh soal hal-hal klise.
Saya juga tak akan membahas novel Ketika Lampu Berwarna Merah, apalagi Sampah Bulan Desember. Toh dua masalah klasik itu tetap tak kunjung selesai. Sampah penyebab banjir? Katanya urusan sepele bagi pemerintah. Klise, Bang.
Yang pasti, Bang Hamsad,
Dalam bus ini—dengan selimut, kursi sleeper, dan colokan USB—saya tidak akan komplain kepada sopir untuk memutar lagu Indonesia Raya sebagaimana tokoh-tokoh dalam cerpen Lagu di Atas Bus itu. Karena bagi saya, lagu kebangsaan itu bukan sekadar didengar. Tapi karena Indonesia Raya adalah bagian dari napas kami—napas Indonesia. Maka, di mana pun, Indonesia akan selalu tegak dan hidup dalam denyut kehidupan berbangsa dan bernegara.
Nah, Bang, bagaimana kalau kita kenang saja sejoli dalam cerpen Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?
Ah, Bang Hamsad—bisa saja menulis cerpen yang begitu relate dengan hidup zaman sekarang. Dalam perjalanan seperti ini, mana mungkin kita ngobrol soal tambang emas atau nikel di Raja Ampat? Saya pun tak punya cukup data—meski bisa saja saya copas dari sana-sini, lalu unggah dengan judul bombastis. Yang penting: klik, baca, atau tonton. Seperti para konten kreator yang comot sana-comot sini, lalu unggah. Beres! Bukan lagi soal kepedulian pada tanah dan lingkungan di Raja Ampat. Yang penting: likes, subscribers, dan viewer count.
Nah, Bang Hamsad…
Bagaimana kabar sejoli dalam cerpen Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu?
Judulnya saja sudah bikin pipi merona dan dada bergetar macam kelapa muda digoyang angin sore. Cerpen ini bukan sekadar kisah cinta biasa. Ini drama romantis yang dilumuri pasta gigi sensasi dingin dan dibungkus selimut kenangan mantan. Bayangkan: dua sejoli, entah jatuh cinta, tergelincir cinta, atau cuma tersandung nostalgia—berdiri di antara cemburu dan rindu, serta ludah yang nyangkut masa lalu.
Laki-lakinya? Tipe sok cool, tapi hatinya selembut bantal hotel bintang empat. Perempuannya? Manis, agak sinis, tapi tetap bikin penasaran. Ia tahu lelaki itu belum sepenuhnya bersih dari jejak masa lalu—tepatnya: bekas bibir perempuan lain! Dan alih-alih marah atau bikin drama level sinetron, dia datang dengan tawaran… yang aduhai: “Maukah kau menghapus bekas bibirnya di bibirku… dengan bibirmu?”
Wahai pembaca, siapa bisa menolak rayuan selirasa itu? Ini bukan gombalan receh. Ini sudah masuk ranah puisi dada—ranah di mana ludah jadi lambang kasih, dan bibir adalah palet kenangan. Cerpen ini bukan cuma bermain di ranah asmara, tapi juga menyentuh eksistensi: Apakah cinta bisa benar-benar baru, atau ia selalu datang dengan jejak masa lalu?
Bang Hamsad menulis bukan seperti orang sedang jatuh cinta, tapi seperti seseorang yang pernah patah hati dan menertawakan kepedihannya sambil nyeruput robusta di warung kopi: “Cinta itu seperti lipstik—kadang membekas, kadang tinggal rasa.” Singkat, tajam, dan—maaf—menggoda. Cerpen ini seperti kecupan di pipi: cepat, ringan, tapi menyisakan aroma berhari-hari.
Eh, Abang, kok jadi ngobrolin soal “Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya…”? Bahaya, Bang. Ini aku sedang dalam bus. Lampu remang-remang. Ah, jadi ingat tagar #IndonesiaGelap. Padahal surat ini saya buka dengan cerpen Lagu di Atas Bus.
Baiklah, Bang Hamsad, di dalam bus yang mewah ini, saya ingin mengenang salah satu cerpen terbaik Abang, cerpen Lagu di Atas Bus, sebuah cerita pendek yang lahir ketika bus-bus tidak semewah yang sedang membawaku menuju Jakarta ini.
Selamat istirahat, Bang Hamsad…
“Sebentar, sebentar, tadi kau bilang mau ke Jakarta?”
“Ya, Bang, tepatnya ke Depok, Bang.”
“Ah, Depok? Oh itu kan tempat tinggal Abang dulu.”
“Oh ya, Bang, aku sama cerpenis Joni Ariadinata pernah ke rumah Abang,”
Bang Hamsad seketika berpaling. Ia berjalan lamban, lemah, dan merunduk. Sementara, bus melaju menembus kegelapan. Lampu-lampu dari rumah-rumah warga yang dilintasi bus sepanjang jalan menjelma kunang-kunang.
“Mahwi, maukah kau menengok rumah Abang di Depok?” sambil berkata, sepasang mata Bang Hamsad dipenuhi dengan genangan air mata. “Tengoklah rumah Abang.”
Seketika aku tersentak, mengingat rumah Bang Hamsad dulu di daerah Depok. Bus Rosalia Indah terus melaju membawa jasad dan ingatanku pada sang maestro, Hamsad Rangkuti, yang tidak hanya meninggalkan cerpen-cerpen dengan gaya penulisan jenaka dan ironi, seironi masa hidupnya hingga napas penghabisan.
Jogja-Jakarta, PP, Juni 2025.
