Surat Kelima: Kepada Bapak Putu Wijaya

Bapak Putu Wijaya yang saya takzimi,

Ada rasa senang yang merebak di dada kami, anggota Semaan Puisi, kala Bapak sudi menerima kunjungan kami (Kamis, 3 Juli 2025), membiarkan rutinitas semaan terlaksana di kediaman Bapak yang asri, damai, terutama, di bawah naungan sambutan hangat Bapak dan Teh Dewi.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Ini bukan sekadar kunjungan biasa, Pak. Ada kelegaan yang saya rasakan. Semacam oase di tengah hiruk-pikuk Bumi ini. Maklum saja, di zaman serba cepat ini, bertemu sastrawan hidup itu langka, Pak, apalagi yang mau repot-repot menerima kami yang suka merepotkan ini.

Siapa pula tak akan terkesima bersua dengan sastrawan sebesar Bapak? Saya pun teringat kalimat bijak Dalai Lama. Beliau pernah bilang, “Jika kamu ingin belajar, bergaullah dengan orang-orang yang berilmu. Jika kamu ingin menjadi bijaksana, duduklah bersama orang-orang bijak.”

Nah, kedatangan kami ke sini itu persis mengikuti petuah beliau. Kami, yang dahaga ilmu dan kebijaksanaan sastra, jelas kudu ‘nempel’ sama Bapak.

Sebenarnya, untuk belajar dan membaca karya-karya Bapak di tengah kepungan dunia digital saat ini, nama dan karya Bapak sejatinya dapat diakses dengan sekejap mata. Maka, adalah sebuah kejutan bagi kami ketika Bapak, dengan nada heran bercampur canda, malam itu berujar, “Di mana kalian dapat puisi-puisi ini? Memalukan sekali. Malu.”

Kami kira Bapak mau bilang, “Wah, kalian ini kok sampai tahu rahasia saya punya puisi!” Ternyata malu, Pak. Malu yang memalukan, katanya. Kami jadi bertanya-tanya, jangan-jangan Bapak punya brankas rahasia yang isinya puisi-puisi ‘memalukan’ yang belum terbit.

Pengakuan jenaka Bapak atas puisi-puisi yang Bapak anggap “gagal” itu sontak mengundang tawa sebagian teman, sementara sebagian lain terdiam, barangkali merenung dalam hati, “Seorang Putu Wijaya yang sebegitu produktif dan berkualitas saja masih merasa karyanya ‘gagal’. Lantas, bagaimana dengan kami yang di luar ‘gelanggang’ ini, yang sering kali membanggakan satu-dua tulisan yang mungkin jauh dari kata baik?”

Pertanyaan itu menggantung, memenuhi ruang batin kami. Mungkin kami harus mulai mengaku ‘gagal’ juga, Pak, siapa tahu nanti bisa sukses seperti Bapak.

Untuk sekadar diingat, publik memang lebih mengenal Putu Wijaya melalui novel, naskah drama, monolog, dan cerpen-cerpennya, ketimbang kumpulan puisinya yang berjudul Dadaku adalah Perisai (1973). Bahkan, tak banyak penulis—mungkin termasuk Bapak sendiri—yang tahu atau ingat bahwa Bapak pernah menulis puisi. Kiprah dan karya-karya Bapak telah diganjar berbagai penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri.

Pak Putu, ada satu hal yang diam-diam menjadi perbincangan di antara kami sepulang dari sana: tentang kesenian sebagai ‘dharma’. Bapak malam itu menegaskan bahwa menulis dan berkesenian bukanlah semata profesi. Kesenian, dalam ajaran Hindu, adalah ‘dharma’, yakni jalan hidup yang mesti ditempuh setiap individu.

“Jadi, tidak bisa kesenian dan menulis dijadikan profesi,” begitu ucap Bapak. Ini sungguh pandangan yang dalam, Pak.

Saya teringat, Bapak pernah berujar bahwa seorang seniman itu, sejatinya, orang yang terasing. Ia tak perlu diterima oleh masyarakat, karena karyanya justru harus melampaui kebiasaan, meresahkan, atau bahkan mengganggu kemapanan. Kebenaran, bagi Bapak, seringkali ditemukan dalam kegelisahan. Agaknya Bapak ini penganut paham, kalau semua orang nyaman, itu tandanya ada yang salah.

Pandangan ini selaras dengan apa yang Bapak tunjukkan dalam setiap karya, baik di panggung maupun di lembaran buku. Sastra, bagi Bapak, bukan sekadar pelipur lara atau penjelas realitas. Sastra adalah alat untuk “membikin kaget”, “mengganggu”, bahkan “memprovokasi” pemikiran. Ia tidak melulu harus indah, tidak harus nyaman dibaca, justru harus bisa menusuk, membuat orang berpikir ulang tentang apa yang mereka anggap benar. Ini sebuah keberanian, sebuah sikap hidup yang tercermin dalam setiap pementasan drama absurd atau narasi cerpen yang tak terduga. Mungkin kalau Bapak jadi dokter, pasti resepnya bikin pusing pasien.

Maka, bila dunia kesenian adalah ‘dharma’ dan hidup seorang seniman adalah mengasingkan diri demi ‘mengganggu’, tak ada jalan lain kecuali menjalaninya dengan keteguhan dan ketekunan. Dan di sinilah, Pak, saya menyukai bagian ini: saya menulis apa pun yang ingin saya tulis, tak peduli hasilnya jelek atau baik. Bapak sendiri, dengan segala produktivitasnya, tidak pernah berhenti mencipta. Ada semacam obsesi, dorongan tak tertahankan untuk terus “berulah” melalui kata-kata.

Bapak seolah mengajarkan, hidup itu adalah proses pencarian dan penemuan.  Dan, bagi seorang penulis, proses itu terwujud dalam laku menulis itu sendiri. Entah dalam kondisi sedih maupun bahagia, saya tetap menulis. Tak peduli hasilnya jelek atau bagus. Menulis adalah jalan hidup, sebuah ‘dharma’ yang tak bisa ditawar.

Pak Putu Wijaya, kami tak sekadar terkesan dan ingin terus belajar sepulang dari kediaman Bapak malam itu. Lebih dari itu, kami merasa—yang barangkali belum seproduktif Bapak—kini semakin memantapkan hati untuk menjadikan kesenian, khususnya menulis, sebagai ‘dharma’ dalam hidup. Kami sadar, perjuangan ini takkan mudah, dan seringkali justru menempatkan kami dalam posisi terasing.

Namun, seperti yang Bapak ajarkan, mungkin di situlah letak kebenaran dan kebebasan sejati seorang kreator. Dan kalaupun kami terasing, setidaknya kami masih punya Bapak sebagai panutan ‘orang terasing’ yang sukses.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan