Surat untuk Gus El

Belakangan ini, jagat media sosial ramai oleh figur yang disebut “Gus El”. Namanya melesat cepat—bukan karena karya tulis, bukan karena kitab yang dikaji, tapi karena video-video yang viral.

Di era algoritma, popularitas memang tidak lahir dari kedalaman, tapi dari keberanian untuk tampil. Dan seperti biasa, masyarakat pun terbelah: sebagian membela dengan fanatik, sebagian lagi menghujat dengan beringas.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Saya bukan siapa-siapa. Hanya seorang santri yang masih berjuang memahami makna adab dan ilmu. Tapi justru dari pinggiran pesantren ini, fenomena seperti Gus El menarik untuk dibaca. Sebab ia bukan sekadar kasus individu; ia adalah cermin dari transformasi otoritas keagamaan di era digital. Kita hidup di zaman ketika “Gus” bukan lagi panggilan yang menuntut tanggung jawab moral, tapi bisa berubah jadi label dagang.

Gelar yang dulu sakral, kini mudah sekali ditarik ke pasar. Di layar ponsel, otoritas ulama direduksi menjadi performa. Ceramah bergeser menjadi konten. Dakwah menjadi tontonan. Yang dinilai bukan lagi isi, tapi gaya; bukan hikmah, tapi reaksi. Di titik inilah, agama kehilangan gravitasinya, tergantikan oleh sensasi.

Bukan berarti dakwah digital salah. Yang bermasalah adalah ketika agama dikemas seperti hiburan, tapi dikonsumsi dengan taklid. Ketika figur publik religius lebih sibuk menjaga personal branding ketimbang menjaga kesantunan ilmiah. Ketika “followers” menjadi lebih penting daripada ma’rifah. Dan ketika setiap kritik dianggap sebagai penghinaan, bukan bahan refleksi.

Sebagian orang bilang, “ya, Gus El cuma manusia biasa.” Tentu saja. Tapi ia juga figur publik, dengan ribuan pengikut yang menganggap setiap ucapannya sebagai rujukan moral. Maka, tanggung jawabnya pun tak bisa disamakan dengan orang biasa. Dalam tradisi keilmuan Islam, seorang ulama tidak hanya dinilai dari kecerdasan logika, tapi juga dari ilm—kebijaksanaan dan pengendalian diri.

Ironisnya, zaman ini membuat kebijaksanaan tampak membosankan. Yang cepat marah lebih ditonton. Yang berteriak lebih dikutip. Yang menertawakan orang lain dianggap lucu. Di tengah budaya itu, sosok seperti Gus El menjadi “ikon baru” bagi publik yang lapar sensasi rohani. Tapi ketika kesalehan dikaitkan dengan konten, maka yang tersisa hanyalah kulit spiritualitas.

Sebagai santri, saya merasa perlu mengatakan ini: dunia pesantren tidak lahir dari kegaduhan. Ia tumbuh dari keheningan, dari proses belajar yang lama, dari kerendahan hati di hadapan guru. Kita tidak diajari untuk mencari perhatian, tapi mencari pengertian. Itulah bedanya antara ilmu dan pencitraan.

Gus El barangkali tidak sepenuhnya salah. Ia hanya menjadi korban dari ekosistem yang mencintai kebisingan. Tapi seorang “Gus” seharusnya bisa melawan arus itu, bukan menambah derasnya. Ia seharusnya menjadi rem, bukan gas. Menjadi penyejuk, bukan pemicu.

Fenomena ini seharusnya menjadi cermin bagi semua pihak: betapa rapuhnya otoritas keagamaan ketika diserahkan pada algoritma. Betapa mudahnya kata “ustaz”, “kiai”, atau “gus” kehilangan makna ketika digunakan tanpa kedalaman spiritual.

Saya tidak menulis ini untuk menyerang Gus El. Justru sebaliknya: agar kita semua belajar dari kegaduhan ini. Agar para santri tahu bahwa popularitas bukan tanda keberkahan. Agar para ustaz sadar bahwa mikrofon bukan selalu tempat berdakwah—kadang juga alat ujian.

Pada akhirnya, dunia digital hanya mempercepat apa yang sebenarnya sudah terjadi lama: banalitas dalam agama. Yang penting bukan lagi apa yang benar, tapi siapa yang paling viral. Dan ketika agama direduksi menjadi konten, maka iman pun perlahan berubah menjadi tren.

Islam tidak membutuhkan selebritas baru, tapi keteladanan lama yang mulai kita lupakan: adab, kesabaran, dan ketulusan yang tak butuh panggung.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan