Anak-anak merupakan masa di mana berbagai hal perlu ditanamkan dan dibiasakan. Laiknya pepatah, belajar di waktu kecil bagaikan melukis di atas batu. Belajar di waktu tua bagaikan melukis di atas air.
Makna yang terkandung dalam pepatah itu, masa kanak-kanak menjadi satu-satunya fase yang memiliki kualitas terbaik untuk memberikan pengetahuan dan menanamkannya. Golden age atau usia emas yang disandang oleh anak-anak menjadi kode untuk orang dewasa agar mengajarkan dan mendidik anak-anak sedini mungkin agar membekas dengan mudah.
Mungkin sebagian orang tidak mengenal KH Ahmad Muthahar bin Abdurrahman bin Qoshidil Haq, yang karyanya banyak dikenal oleh anak kecil di berbagai pesantren, madrasah diniyah, dan TPQ di seluruh Indonesia, khususnya Jawa. Salah satu karya monumentalnya adalah kitab Syifaul Jinan Fi Tarjamati Hidayatus Shibyan.
KH Ahmad Muthahar bin Abdurrahman bin Qoshidil Haq merupakan putra kelima KH Abdurrahmah. Kiai kelahiran tahun 1926 ini dikenal dan diteladani melalui keistikamahan dalam beribadah. Hal ini dapat dilihat dari semangat dan istikamahnya dalam mendidik.
semangat yang menjadi inspirasi santri dalam belajar, misalnya, KH Ahmad Muthahar tetap pergi ke masjid serta berkeliling mengecek kamar-kamar santri meskipun harus menggunakan kursi roda dan dengan bantuan dorongan dari santri.
Semasa hidup, KH Ahmad Muthahar dipercaya untuk mengampu pengajian santri serta menjadi imam salat wajib di masjid An Nur Pondok Pesantren Futuhiyyah, serta menjadi imam salat Jumat di masjid Jami Baitul Muttaqin, Kauman, Mranggen. Keistikamahannya bisa dikuatkan dengan santri sebagai saksinya. KH Ahmad Muthahar selalu shalat berjamaah kecuali ada udzur.
Keistikamahan dan kealiman KH Ahmad Muthahar tidak didapatkan secara instan. KH Ahmad Muthahar mendapat kesempatan berguru kepada Syekh Yasin bin Isa Al Fadani yang merupakan murid dari Syekh Sa’id Nabhan. Syekh Yasin merupakan ulama Mekkah yang berasal dari Padang, Sumatra Barat, yang memiliki gelar “Al Musnid Dunya” (ulama ahli sanad dunia) sebab keahliannya dalam meriwayatkan hadis.
Berkat ketekunan dan rida Allah, KH Ahmad Muthahar meninggalkan beberapa karya dalam bentuk kitab, seperti Imrithi, Al Wafiyyah fi Al Fiyyah, Akhlaqu Mardliyyah, Tafsir Faidurrahman, Al Maufud, Syifaul Jinan, Tuhfatul Athfal, Rahabiyyah, dan Tsamarotul Qulub yang cukup dikenal dan masih dipakai di kalangan nahdliyin sebagai bahan pembelajaran agama dengan berbagai cabang keilmuan. Karya KH Ahmad Muthahar tidak sulit untuk ditemukan, sebab penerbit Thoha Putra Semarang menjadi tempat penerbitan mayoritas kitabnya.
KH Ahmad Muthahar wafat pada tanggal 22 Juni 2005 bertepatan dengan tanggal 15 Jumadil Ula 1426 H. Ketika dini hari itu menjadi sujud salat terakhirnya dan menjadi pengantar ke alam yang lain. Sebab kealimannya, tak heran ribuan pelayat mengantar kepergian KH Ahmad Muthahar.
Kitab Syifaul Jinan Fi Tarjamati Hidayatus Shibyan merupakan salah satu karya monumental KH Ahmad Muthahar. Syifaul Jinan merupakan salah satu kitab menyarahi kitab Hidayatus Shibyan. Uniknya, kitab ini menggunakan bahasa Jawa dalam menjabarkan nadham Hidayatus Shibyan. Kitab ini juga menjadi rujukan dalam pembelajaran ilmu tajwid yang tidak hanya dikaji di pesantren, namun juga di madrasah dan TPQ.
Kitab Syifaul Jinan membahas dasar-dasar ilmu tajwid. Kitab ini ditulis sebagai respons KH Ahmad Muthahar kepada para guru dan murid madrasah ibtidaiah yang menginginkan adanya terjemahan dari kitab-kitab kecil, namun memiliki kebermanfaatan yang besar. Hal ini tertulis dalam mukadimah kitab Syifaul Jinan.
Meskipun kecil yang jumlah halamannya tidak mencapai 30, namun kitab ini memiliki kegunaan yang besar dalam mengkaji hukum-hukum bacaan dan cara membaca Al-Qur’an dengan benar. Kitab ini terdiri dari 6 bab, termasuk mukadimah.
Mukadimahnya berisi pujian-pujian kepada Allah serta selawat kepada Nabi, juga pengantar mushanif mengenai tujuan penulisan kitab, harapan serta permintaan maaf jikalau nantinya ditemukan kesalahan dan kelalaian. Hal ini mencerminkan sikap tawadhu yang menjadi ciri khas para ulama mutaqadimin agar mendapat berkah dan rida Allah ketika menulis kitab. Di sini pula mushanif memohon kepada Allah agar kelak kitab ini menjadi kebermanfaatan untuk mushanif sendiri ataupun bagi sesame dalam artian masyarakat umum.
Tak jauh berbeda dengan kitab Hidayatus Shibyan, bab berikutnya membahas hukum-hukum bacaan yang ada di Al-Qur’an. Bab satu membahas tentang hukum bacaan nun mati dan tanwin yang terdiri dari idhar, idgham bighunnah, idgham bilaghunnah, iqlab, dan ikhfa hakiki. Bab dua membahas hukum mim dan nun bertasydid serta mim mati yang dirincikan dalam ikhfa syafawi, idhar syafawi, dan idgham mitslain maal ghunnah. Bab tiga membahas pembagian idgham yang terdiri dari idgham mitsli shaghir dan mitsli kabir.
Bab selanjutnya membahas pengaruh lam fiil dan lam ta’rif terhadap bacaan idhar dan idhgam. Hal ini menyebabkan terbaginya hukum idgham syamsiah, idhar qamariah, idhar fi’li, dan idhar halqi. Bab setelahnya membahas huruf tafhim dan huruf qalqalah. Bab ini merupakan yang paling singkat sebab hanya menjabarkan dua bait saja. Namun tidak berarti bab ini sempit. Bab ini mudah dipahami karena pembahasan langsung pada konteks yang dituju. Bab terakhir membahas huruf mad dan pembagiannya. Di bagian ini mushanif membahas secara terperinci dari segi definisi maupun contoh-contohnya yang didasarkan pada nadham yang ada. Untuk menambah pemanahan, ditambahkan referensi lain dari para ulama ahli tajwid.
Kitab Syifaul Jinan usai ditulis pada 10 Syawal 1374 Hijriah seperti yang tertulis pada kalimat penutup kitab ini. Di bagian penutup, mushanif mencurahkan rasa syukur kepada Allah sebab berkat pertolongan dan rida-Nya dapat menuntaskan kitab Syifaul Jinan. Seperti di mukadimah, di akhir kitab, KH Ahmad Muthahar berharap karyanya dapat bermanfaat khususnya bagi santri dan murid madrasah yang ada di Indonesia.
Kitab ini memiliki keunggulan tersendiri, khususnya bagi masyarakat Jawa. Sebab menggunakan bahasa Arab Jawa (pegon). Sehingga, masyarakat awam dapat memahami kitab ini tanpa harus mempelajari bahasa Arab terlebih dahulu. Materi yang dibahas pun lengkap dari segi harfiah dan terminologi serta disertakan catatan kaki dan nukilan dari pada ulama ahli tajwid yang dijadikan referensi.
Di samping itu, disertakan tabel yang berisi ringkasan di tiap akhir bab guna memudahkan murid dalam memahami hukum bacaan yang baru saja dipelajari. Dengan begitu, kitab ini cukup untuk digunakan memperkaya khasanah keilmuan di Nusantara khususnya dan tidak ada salahnya untuk menyebarluaskan agar keberadaan kitab ini tetap lestari dan memberi kebermanfaatan untuk sesama insan serta mushonif kitab itu sendiri.
Untuk memdapatkan kitab ini tidaklah sulit dan tersebar luas di berbagai toko kitab. Untuk meminangnya pun tidak perlu merogoh kocek yang terlalu banyak.