Pembahasan tentang akhlak tidak pernah kusam dan selalu menjadi diskursus tersendiri dalam dunia pendidikan.
Dalam pengertian bahasa (etimologi), akhlak ialah bentuk jamak dari khuluq/khuluqun, yang berarti budi pekerti, tingkah laku, atau tabiat. Persamaan khuluq dalam bahasa Yunani adalah ethicos/ethos, yang diartikan sebagai adab yang bersumber dari kecenderungan hati, yang sering kita dengar dengan istilah etika.
Imam al-Ghazali dan Ibnu Maskawaih memaknai akhlak sebagai sebuah sifat yang tertanam atau terpatri dalam jiwa, serta menujukkan ekspresi dalam perkataan dan perbuatan tanpa didasarkan proses pemikiran.
Begitu pentingnya posisi akhlak, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Yasini Pasuruan, Jawa Timur, KH Mujib Imron menegaskan bahwa bertambahnya ilmu tanpa diikuti peningkatan akhlak adalah kesia-siaan. Penegasan ini didasarkan pada sebuah hadits yang berarti bahwa “orang yang tambah ilmu tapi tidak tambah akhlak, maka dia tetap jauh dari Allah.” Artinya, bertambahnya ilmu pengetahuan tidak menjadikan seseorang dekat dengan sang Kholik bila tidak diiringi perbaikan akhlak.
Dalam kaca mata ini, terdapat perbedaan antara akhlak dengan etika. Etika memiliki landasan pada lingkup perbuatan manusia yang ditinjau dari skala baik dan buruknya. Etika lebih didasarkan domain ilmu filsafat, sebab pembahasan moralitas menjadi objek materialnya.
Adapun, akhlak tidak sekadar mendasarkan sebuah perbuatan seseorang pada wilayah benar atau salah dan juga baik atau buruk, tetapi juga pada wilayah indah atau tidak indah.
Jika etika membicarakan perbuatan moralitas dari kaca mata manusia dan bersumber dari filsafat, akhlak lebih dari itu, seperti yang disebut dalam hadits Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kesalihan akhlak.” (HR Al-Baihaqi).
Dengan demikian, akhlak tidak hanya bersumber dari pikiran manusia, akan tetapi langsung dari Dzat yang Maha Kuasa, yakni bersumber dari wahyu al-Quran dan al-Hadits. Di dalam al-Quran, misalnya, disebutkan bahwa: