Tasik dan Akar Kepesantrenan

Hampir di semua kawasan Asia, terdapat padepokan sebagai pusat tatanan tradisi bermula ada lalu terus dikembangkan. Padepokan tersebut fungsi utamanya adalah pendidikan moral. Posisinya menjadi bagian integral dengan permukaan masyarakat, sehingga padepokan itu menjadi dan dimiliki serta dijaga bersama oleh masyarakat.

Karena memiliki fungsi utama sebagai basis moral, maka sejak belia, setiap individu sudah diperkenalkan dan dididik masa bermainnya dalam padepokan tersebut. Di setiap tradisi dan kebudayaan, diyakini bahwa pendidikan moral adalah hal pertama yang harus ditanamkan pada setiap individu, dan basis moral itu kelak menjadi bekal dasar untuk mengantarkan pada jalan hidup yang akan ditempuh setiap takdir individu. Sejak itu pula, seorang individu mulai menyadari kemeng-ada-annya terlahir dan hidup di dunia.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Di Jepang, misalnya, padepokan tersebut kita mengenalnya bernama dojo, tempat para samurai berlatih, belajar laku hidup, dan merenung. Dojo hampir ada di setiap kota dan saling terhubung, terutama di pusat-pusat kota seperti Kyoto sebagai pengumpul informasi.

Di sanalah bertempat tinggalnya para guru master pedang, membangun dan merawat tradisi mereka yang sudah turun-temurun, untuk kemudian menciptakan peradaban baru secara terus menerus. Di samping itu, dojo menjadi parit pelindung dari berbagai marabahaya ancaman yang datang dari luar. Di samping itu semua, para guru dan ksatria pedang ini berfungsi sebagai kompas haluan, arah-tujuan ke mana masyarakat dan kota itu akan menuju.

Sepintas kita bisa menyaksikannya lewat film Seven Samurai besutan Akira Kurosawa yang masyhur pada masanya, atau lima film series Ruroni Khensin yang diambil dari sosok legenda bernama Himura Battosai.

Di bulan Juni kemarin, film ini merilis series yang keempatnya. Banyak ulasan perihal film itu sejak pertama dirilis, dan belakangan hari menjadi topik perbincangan di kalangan sebagian penggemar berat anime Jepang.

Selain berguru pada master di dojo, kebiasaan yang dilakukan para murid samurai ini adalah hidup mengembara. Dari dojo ke dojo. Disadari oleh mereka bahwa pengembaraan dapat memunculkan gejolak spiritual, dengan begitu hatinya menjadi hidup, karena dihadapkan pada ketidakpastian dan marabahaya. Karena itu, terus belajar untuk mengelola seni dalam hidup, yaitu menata hati dan pikiran, hingga mencapai tahap kematangan keduanya.

Di kawasan Asian Tenggara, khusunya Indonesia, padepokan itu kita kenal hari ini bernama pesantren. Dalam masyarakat tradisional Indonesia, sebagaimana di Jepang, penamaan padepokan biasanya sekaligus mewakili nama daerah tempat padepokan itu hadir. Di kemudian hari, di berbagai belahan wilayah Indonesia, padepokan tersebut menjadi bagian integral beriringan dengan sebuah tatanan kerajaan. Setidaknya terdapat empat penamaan tatanan kenegaraan; ialah kasultanan, kasepuhan, kasunanan , dan kabuyutan. Kita bisa menelusurinya dari mulai Kasultanan Aceh, Mataram, Bima, Banjar, hingga Ternate dan Tidore. Kasunanan Surakarta, Kasepuhan Cirebon. Nama-nama kerajaan, berikut tatanan yang sudah ada di dalamnya itu, masih terberai di berbagai kepulauan masyarakat adat di Indonesia, dan sayangnya hingga hari ini terpinggirkan oleh kehadiran negara modern.

Di masyarakat Jawa Barat, terdapat satu kabuyutan yang tertulis dalam fragmen Carita Parahyangan, yaitu Kabuyutan Galunggung. Meski belum ditemukan bukti arkeologis hingga saat ini, dalam fragmen Carita Parahyangan tersebut, tertulis bahwa di Galunggung terdapat sebuah mandala, atau padepokan, tempat para resi guru berada.

Selain sebagai tempat penempaan dan transformasi akar benih moral masyarakat, padepokan itu sekaligus menjadi tempat dididiknya bakal calon raja di sebuah kerajaan. Karena kerajaan dan karesian (pesantren) menjadi satuan integral dalam hal pendidikan moral, maka semua individu menjalankan ngilmu dan laku hidup prihatin, tujuannya supaya jernih dalam berpikir dan mudah menyerap realitas hidup. Sehingga, itu semua akan membentuk kematangan spiritual dan kecerdasan intelektual, untuk ia mampu mengendalikan tindakannya. Setelah proses itu terlalui, seseorang yang telah mencapai kematangan spiritual dan intelektual, bisa dijadikan sebagai pemimpin atau raja.

Kerajaan-kerajaan di Nusantara meski selintas bersifat monarki, namun tidak absolut sebagaimana yang berlaku di kerajaan-kerajaan Eropa. Raja-raja di Nusantara terpilih atas capaian kecakapan intelektual dan kematangan spiritual hasil nyantrik di padepokan (pesantren). Ia adalah wakil Tuhan yang berporos pada tradisi dan kebudayaan, hingga menciptakan peradaban.

Hal tersebut termaktub dalam gelar-gelar yang disematkan pada raja sebagai wakil (khalifah) Tuhan, untuk menata dan mempercantik bumi kemanusiaan (Hamemayu Hayuning Buwana). Sementara, raja-raja di Eropa bersifat monarki absolut, yaitu penjelmaan kekuasaan penuh dari Tuhan.

Benedict Anderson dalam bukunya Kuasa Kata; Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia membandingkan konsep kuasa Jawa dengan kuasa Eropa modern. Di Eropa modern, kekuasaan dipahami bersifat abstrak. Ia hanya dapat dimengerti lewat hubungan sebab-akibat, heterogen, tidak terbatas, dan tidak perlu berhubungan dengan moral masyarakat. Sementara konsep kuasa dalam kebudayaan Jawa bersifat konkret, homogen, konstan, dan absah. Dan hampir di seluruh kepulauan Nusantara, kekuasaan didapat setelah melewati laku tapa asketis, sebagai sarana menerima wahyu ilahiah.

Dan pesantren dalam tatanan kerajaan pada waktu itu (kabuyutan) adalah berdiri sendiri. Terdapat istilah bernama tanah perdikan, yaitu tanah pemberian raja. Huma merupakan tanah atau hutan yang diberikan raja kepada kabuyutan untuk dipergunakan dan diambil manfaatnya. Dan tanah tersebut dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Sehingga, fungsi utama kabuyutan sebagai pendidikan moral tetap independen, dan terhindar dari bias kepentingan politik kuasa kerajaan.

Salah satu kabuyutan yang masyhur dan tercatat dalam Carita Parahyangan di awal, terletak di sebuah gunung bernama Galunggung, kemudian nama yang diambil adalah Kabuyutan Galunggung. Dan gunung, dalam khasanah klasik manusia di kepulauan Indonesia, merupakan tempat yang dilindungi dan terjaga. Orang yang melakukan perjalanan dan pendakian gunung disebut sang salik, yaitu orang yang bersuluk untuk belajar dan menyerap pengetahuan dari perjalanannya hingga mencapai puncak gunung., Masyarakat kita mempercayainya sebagai tempat bersemayamnya para dewa, yaitu tempat di mana manusia mampu berdialog dengan Tuhan.

Kemudian, ketika seorang salik tersebut telah mampu mendengar suara lirih diriNya yang jernih dan hening, perlahan ia akan mengalami pencerahan. Kisah para nabi dan rasul banyak mengajari hal ini, terutama Rasul Muhammad yang seringkali gelisah, lalu pergi menyendiri di Gua Hira, hingga mendapatkan wahyu pertama.

Para pejalan yang naik gunung, secara etimologi bisa kita konteks-kan hari ini sebagai para santri atau pelajar, yaitu sama-sama berjalan untuk menuntut ilmu. Satu hal yang menarik dari pola pendidikan tradisional ini, adalah adanya guru sebagai fungsi cerminan diri dan stabil bagi kehidupan lingkungannya. Karena seorang guru berfungsi sebagai cerminan diri, ia menjadi daya-tiru bagi para muridnya, dan kelak mengantarkan pada guru sejati, yaitu diri sang murid itu sendiri. Daya-tiru ini dalam tradisi platonian dan aristotelian disebut perilaku mimesis, yaitu meniru seseorang yang dianggap sebagai guru.

A Setyo Wibowo, seorang pengajar filsafat yang memfokuskan studi akademiknya mempelajari Plato di Jerman, mempelajari pola pendidikan mimesis ini, pun dilakukan dalam tradisi Katolik, yaitu untuk mendidik bagi para calon imam gereja.

Sukarno adalah contoh yang bisa kita lihat bagaimana ia melakukan mimesis itu. Kita tahu, Sukarno muda dititipkan oleh ayahnya ke rumah padepokan Cokroaminoto di Surabaya. Di padepokan itu, Sukarno bertemu Semaun, Kartosuwiryo, Muso, dan teman-teman pergerakan nasional lainnya. Cokroaminoto selain sebagai sosok sentral dalam padepokan itu, juga merupakan orator ulung di kalangan masyarakat luas. Gaya orator seorang Cokroaminoto ini menjadi ilham mimesis Sukarno dalam meniru gurunya. Kerap Sukarno sering mengikuti Cokroaminoto ketika menghadiri undangan dari masyarakat, bahkan jika Cokroaminoto jatuh sakit, maka Sukarno yang menggantikannya.

Surabaya menjadi kota pergerakan dan disebut sebagai dapurnya nasionalisme. Seiring wacana-wacana besar yang berkembang di kancah global, konsep negara bangsa menjadi daya pemikat para pejuang pada masa itu. Dari sini muncul imajinasi-imajinasi baru yang terbayang akan laju tatanan baru sebuah bangsa.

Ben Anderson, seorang antropolog Indonesianis merekam pola pergerakan itu di tiga kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dan memaknainya sebagai Imagined Communities, yaitu komunitas bangsa terbayang. Di kemudian hari, orang-orang terpelajar yang berguru di padepokan Cokroaminoto ini menjadi motor penggerak kesadaran berbangsa, dan melahirkan kemerdekaan Indonesia modern.

Kita bisa melihat bagaimana sebuah padepokan yang pada mulanya berfungsi sebagai pendidikan moral sejak dini, berkembang menjadi pusat penyongsong peradaban baru. Tempat diolahnya ide dan gagasan baru yang sedang berkembang, didiskusikan hingga pada akar kawah candradimuka. Sehingga, para murid yang menempa diri di padepokan itu, kelak menjadi seorang terpelajar yang tercerahkan. Lalu, tugas seorang seorang terpelajar berikutnya adalah turun gunung, yaitu memasyarakatkan-ulang dirinya sesederhana mungkin. Ini menjadi siklus utama, dan terjadi di semua peradaban. Jika siklus ini tersendat dan tidak berjalan, maka masyarakat itu akan tergenang keruh dan mati.

Frasa turun gunung sempat menjadi populer di masa awal revolusi di Bandung.  Waktu itu para pejuang dan kaum terpelajar menyematkan diri mereka dengan istilah turun gunung di saat mereka memasyarakat-ulang diri di tengah masyarakatnya sendiri. Kita bisa menyaksikannya pula bagaimana frasa turun gunung ini hidup dan menjadi populer, dalam film yang disutradarai oleh Usmar Ismail berjudul Lewat Djam Malam. Kita bisa menyaksikan dengan seksama, bagaimana seorang terpelajar itu memiliki tugas moral dan distribusi pengetahuan pada masyarakatnya. Artinya, seorang terpelajar itu harus kembali pada akar dirinya bermula, yaitu masyarakat.

Begitupun di masa kerajaan tradisional, menjadi terpelajar ini adalah tugas para ksatria. Ada pula yang menyebutnya ksatria malam, sebab mereka hadir di setiap peralihan generasi zaman dan pergantian kekuasaan. Di antara peralihan itu biasa terjadi krisis. Dalam legenda masyarakat Sunda, terdapat contoh seorang rahib bernama Bujangga Manik yang menggambarkan ksatria malam. Dalam beberapa catatan, ia hidup di pengujung peralihan Dayeuh Pakuan Padjajaran. Lalu ia berkelana, berguru langsung pada alam, tercatat ia melakukan dua kali perjalanan mendaki gunung-gunung Jawa-Bali. Akibat keresahannya yang melihat kecamuk politik dari peralihan kekuasaan dan pergantian aliran arus zaman.

Terdapat ungkapan menarik yang berbunyi “Beunang guguru ka gunung, beunang tatanya ka Guriang.” Hal itu merupakan ungkapan masyarakat Sunda yang muncul dari pergaulan hidupnya yang lekat dengan gunung. Ungkapan tersebut hadir dalam bahasa batin yang mencoba diungkapkan untuk terus menjaga keterhubungan manusia dengan lingkungan alam gunung. Pandangan dan cara hidup penghayatan (esoteris) ini merupakan ungkapan lelaku-batin manusia dalam mengekspresikan kemanusiaannya. Yaitu, ungkapan meta-filosofis dari nilai hidup yang dicari, dihayati dan dijalankan.

Dengan demikian, menjadi terlihat bahwa ungkapan ‘keterpesonaan dan ketakterhinggaan’ tidaklah selalu menyangkut persoalan dogma-teologis saja. Ia adalah hasil pergaulan dengan lokalitas alam lingkungannya sendiri, yang kemudian menjadi olah budi yang semakin halus. Ekpresinya sebagian kita kenali dalam cerita rakyat, dialog-pantun, upacara selametan, dan ragam bentuk pamali.

Pasca runtuhnya Dayeuh Pakuan Padjajaran, daerah kekuasaan dialih-limpahkan dari Mataram Islam, kepada pemerintah Hindia Belanda (imperium kolonial). Para ilmuwan kolonial memiliki cara dan pendekatan berbeda untuk memahami gunung dan hutan, yaitu dengan sarana ilmu pengetahuan modern yang saintifik.

Seorang ahli botani, geolog dan seniman bernama Franz Wilhelm Junghuhn, merupakan salah satu orientalis yang mengabdikan hidupnya untuk ilmu pengetahuan modern tersebut. Pria asal Prusia ini, begitu terpana ketika mendapati dirinya berada di antara hutan, bebukitan, dan gunung-gunung di kawasan Priangan. Dalam disertasi Hawe Setiawan berjudul Sunda Abad ke-19, Tafsir atas Ilustrasi-Ilustrasi Jughuhn, kegiatan saintifik dan menggambar yang dilakukan Junghuhn, merupakan persenyawaan ilmu dan seni yang akan membawa manusia pada wilayah permenungan spiritual, alam raya, hingga Tuhan. Sekali waktu di akhir masa hidupnya, Junghuhn mengatakan bahwa hanya alam sajalah sumber segala kebenaran, serta satu-satunya manifestasi ilahiah.

Keterpesonaan dan ketakterhinggaan di hadapan alam raya, merupakan pergumulan paling purba manusia. Dalam tradisi agama abrahamik, kita mengenal kisah Ibrahim ketika melakukan pencarian diri-Nya. Ia terpesona melihat bintang, bulan, dan matahari. Rasa getar dan takut, bagi filsuf asal Denmark Soren Kiekergard, adalah pergumulan individu dan kebatiniahan. Sebelum wahyu turun pada Ibrahim, terlebih dulu ia mendapati dirinya bergumul di hadapan alam raya semesta. Dengan begitu, pola hidup kebatinan adalah ungkapan naluriah manusia sejak manusia itu mulai ada, yaitu naluri kecenderungan diri ingin berpijak pada dirinya, yang tak terpisahkan dari nilai lokalitasnya.

Lokalitas merupakan tempat bermula manusia itu mulai ada (being), meng-ada (exist), dan membentuk kemen-adaannya (Dasein). Dasein dalam diskursus metafisika Martin Heiddeger adalah proses pembentukan manusia yang tidak pernah stagnan dan dekaden, ia terus membentuk kemenjadiannya.

Jika ditelisik ulang untuk kita melihat kembali lingkungan awal mula manusia itu mulai meng-ada, maka telah terdapat lokus nilai-nilai lokal yang menjadi tatanan sosial zamannya. Tatanan tersebut tercipta, dan terus mengalami perkembangan ‘kemenjadiannya’ dan terwarisi nilai-nilai luhur para pendahulunya. Nilai tersebut kemudian membentuk sistem pengetahuan yang bersifat lokal, holistis, dan kosmologis.

Jonathan Rigg (1862), dalam karya leksikografnya yang berjudul A Dictionary of The Sunda Language of Java menuliskan dua kalimat; “Beunang Guguru ti Gunung – Beunang nanya ti Guriang” adalah contoh yang dipotret oleh seorang Geo-Antropolog, betapa manusia Sunda sangat lekat persentuhannya dengan alam gunung.

Berdasarkan catatan Danadibrata (2009), di satu kecamatan kawasan Kabupaten Tasikmalaya saja, jumlahnya mencapai 3.648 gunung, termasuk satu di antaranya dengan kompleks yang disebut Gunung Sarebu. Dari lanskap ini, kita bisa mempunyai gambaran umum untuk menelisik kembali dan mengembangkan akar identitas kedaulatan diri yang perlu kita telusuri-ulang jejak langkahnya.

Dengan demikian, semua gunung, hamparan sawah, sungai, empang, dan balong bisa menjadi wilayah belajar dan modal sosio-kultural. Penerimaan dan kesadaran itu, bisa menjadi pranata kembali potensi apa yang sebenarnya bisa dikembangkan di daerah sendiri. Jika semua sudah terbuka dan mencapai kesadaran itu, kita dapat membangun kembali hidup kita sendiri di masa depan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan