Temali Tradisi Santri: Pesantren Arba’i Qohhar Jambangan

611 views

DESA INI, Jambangan, berjarak enam kilometer dari titik nol ibu kota sebuah kabupaten yang menghubungkan Jawa Timur dan Jawa Tengah, dan hanya berjarak dua ratus meter dari stasiun kota. Stasiun ini -tanpa harus transit- terhubung dengan kota-kota besar seperti Solo, Yogyakarta, Bandung, juga Cirebon dan Jakarta. Ke timur, terhubung dengan Surabaya, Kediri, Malang, dan Jember-Banyuwangi di ujung timur Jawa. Relnya menjadi pembatas dengan salah satu desa tetangga di sisi utara. Kereta yang melintas hilir-mudik membawa beragam jenis orang dan kepentingan, juga profesi dan status sosial.

Pintu keluar-masuk tol yang terhubung dengan Solo–Semarang, hingga Jakarta ke arah barat, dan Surabaya-Malang hingga Banyuwangi ke arah timur, hanya berjarak tiga kilometer. Proyek jalan tol ini belum paripurna, memang. Namun geliatnya mulai terasa. Harga tanah mulai melambung tinggi. Proyek perumahan dan berbagai jenis bangunan megah mulai menjamur, dalam radius beberapa puluh atau ratus meter dari pintu keluar-masuk tol.

Advertisements

Satu kilometer dari titik nol desa ini, ke arah timur laut, terdapat pasar kecamatan yang mulai beraktivitas setelah matahari menaik, bersamaan dengan jam berangkat sekolah atau bekerja ke sawah atau ke kantor. Di pasar ini, banyak dijumpai dokar yang parkir berjejer menunggu penumpang, dan agaknya masih menjadi moda transportasi favorit bagi orang-orang yang belanja di pasar. Selain barang pecah belah, sayur-mayur dan bumbu dapur, sebagian kios di pasar ini menjual pakaian jadi bermerek lokal.

Bus-bus kecil melintasi desa dalam interval waktu tertentu, menghubungkan kecamatan satu dengan lainnya, hingga yang terpencil di kaki gunung Lawu. Penumpangnya tak seramai dulu, sebelum tiga-empat tahun yang lalu, sehingga volume bus kian berkurang. Dan, beberapa hanya dinakhodai seorang sopir, tanpa kenek. Namun, ada yang masih bertahan dengan sopir dan kenek. Seberapa pun uang yang didapat, dinikmati bersama -mirip shared poverty ala Clifford Geertz. Para pelajar berangkat ke sekolah naik bus ini, sebagian masih bersepeda. Sedikit saja yang menggunakan kendaraan bermotor.

Ke utara, tak sampai sepuluh kilometer, kali Bengawan Solo, sungai terpanjang di Jawa, melintas membelah kota. Nama sungai ini abadi dalam sebuah lagu keroncong yang legendaris, oleh musisi kawakan asal Solo: Gesang. Di satu titik tikungnya, di tengah kota, sebuah benteng dibangun oleh Johannes Graaf van den Bosch di era Perang Diponegoro. Kota ini memiliki fungsi strategis sebagai jantung jalur perdagangan. Sungai ini melintasi dua provinsi, Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan beberapa kabupaten –dari Wonogiri di hulu dan Gresik di bagian hilir. Karakteristik topografi Bengawan Solo menjadikannya tempat persemaian kehidupan purba. Dan, faktanya, di Trinil, fosil Pithecantropus Erectus – manusia Jawa purba- ditemukan oleh sarjana berkebangsaan Belanda: Marie Eugène François Thomas Dubois, tahun 1891. Fosil tersebut tersebut menjadi penanda kawasan ini merupakan salah satu pusat peradaban tertua di Nusantara.

 Sebuah Desa, Sebuah Koma

Kawasan ini, memang, tampak klasik. Masih banyak dijumpai rumah yang seluruh bangunannya –dinding, kerangka, pintu, dan daun jendela- berbahan kayu jati. Semuanya berasitektur khas Jawa, baik berbentuk limas, joglo, atau rumah kampung. Hampir setiap rumah memiliki halaman yang cukup luas. Bahkan banyak yang masih menyisakan pekarangan di samping kanan-kiri atau belakang rumah, dan ditanami kayu jati. Dapurnya pun cukup luas, dan ada tungku untuk masak yang menggunakan bahan bakar kayu. Kayu jati, tak seperti sengon atau mahoni, atau kayu-kayu komersil lainnya, berkali lipat lebih tua usianya, menjadikannya klasik.

Tak hanya klasik, tapi juga mistis. Aroma mistis terasa sekali di lima kilometer arah barat daya dari desa ini: Alas Ketonggo, kerajaan makhluk halus. Konon, alas di kaki Gunung Lawu ini paling wingit alias angker di Jawa, selain Alas Purwo di Banyuwangi. Ada jejak Prabu Brawijaya V di sini, saat melepaskan seluruh pakaian kebesarannya, sebelum melakukan pertapaan di Gunung Lawu. Ia kemudian ditahbiskan sebagai Sunan Lawu.

Pertanian sawah menjadi basis ekonomi masyarakat desa. Tanahnya subur, meski untuk pengairan, terutama di musim kemarau, mengandalkan sumur-sumur yang digali di sawah dan dialirkan menggunakan diesel atau dab. Padi ditanam sepanjang tahun. Hasilnya pun cukup melimpah. Untuk skala kabupaten, hanya butuh 20% dari total produksi padi guna mencukupi kebutuhan pasar lokal. Selebihnya, 80%, untuk pasokan pasar nasional. Karenanya, kawasan ini menjadi salah satu lumbung padi nasional.

Jalan desa dan dusun sebagian dipaving atau dicor beton. Jalan aspal di sini tak awet, cepat rusak dan bergelombang. Bukan oleh kendaraan-kendaraan besar, tapi lebih disebabkan intensitas pergerakan tanah. Sungai-sungai, jika musim kemarau, mengering. Jika musim hujan air mengalir sangat pelan, mirip rawa, hampir tanpa pergerakan, dan keruh.

Meski begitu, desa ini cukup menentramkan. Berbagai jenis burung yang di tempat lain hanya bisa dijumpai di sangkar-sangkar burung, di sini terbang bebas, hinggap dari pohon ke pohon, sesekali di jalan dan halaman rumah. Kicaunya beraneka bunyi, dari yang termerdu hingga yang parau. Perdes mengatur larangan berburu binatang di kawasan ini. Dan, kenyataannya, tak ada yang berani mengokang senapan angin.

Kendaraan, bahkan sepeda motor, biasa di parkir di halaman di malam gelap tanpa khawatir hilang. Tak ada begal di jalanan yang bergelombang dan berlubang melewati areal persawahan atau hutan yang panjangnya bisa belasan hingga puluhan kilometer, bahkan tengah malam sekalipun. Orang bisa tidur nyenyak, kadang dengan daun pintu dan jendela yang terbuka, untuk memberi jalan angin masuk ke rumah. Terutama rumah-rumah kayu dengan atap depan yang melandai merendah, suhu udara di dalam rumah, bahkan di malam hari, terasa pengap.

Pada malam Jumat Legi, malam Jumat terakhir di pengujung Syaban, tepat seminggu sebelum Ramadhan, selepas isya, orang-orang desa berdatangan ke pelataran masjid yang lapang, bangunan berarsitektur joglo yang berada di tengah kawasan pesantren yang berusia lebih satu abad lamanya. Mereka hendak ke pemakaman keluarga -yang tak lain adalah kiai-kiai pendiri dan guru-guru pesantren yang telah wafat- di desa sebelah. Sebuah truk menunggu dengan sabar, juga beberapa mobil, dan puluhan kendaran roda dua. Tak butuh waktu lama menunggu ratusan orang desa itu kumpul. Sebagian membawa bungkusan nasi dan air gelasan. Sore tadi, lewat corong masjid, diumumkan agar tiap-tiap kepala keluarga membawa lima bungkus shodaqoh (nasi lengkap dengan lauk-pauk dan segelas air kemasan).

Malam itu, iringan panjang orang dan kendaraan bergerak menuju ke satu titik. Lampu-lampu kendaraan tampak seperti sekoloni kunang-kunang, ada yang redup, ada yang benderang. Setelah melewati jalan aspal searah Gunung Lawu, iring-iringan belok ke utara melewati jalanan di tengah areal persawahan yang baru beberapa bulan lalu selesai dipaving. Lokasi pemakaman berjarak empat kilometer dari desa mereka. Dua kilometer arah selatan dari pemakaman, Alas Ketonggo berada.

Pemakaman itu berada di sisi timur dari batas utara kompleks pesantren dan masjid -yang juga masih satu silsilah dengan rombongan itu- dikelilingi pagar tembok dengan satu gapura pintu masuk. Di antara makam-makam yang ada, tampak satu bangunan berbentuk rumah kecil yang di dalamnya terdapat makam sang leluhur: pangkal yang darinya seluruh jasad yang dikuburkan, juga tempat orang-orang yang masih hidup yang hadir di pemakaman tersebut mempertalikan diri.

Para sesepuh memasuki rumah kecil yang menjadi pusat tata kosmos makam, lainnya menyebar mengitari. Pembawa acara membuka, menyampaikan susunan acara, dan pesan perlunya nguri-uri (menjaga) tradisi. Lalu diserahkan ke beberapa sesepuh -yang juga dihormati sebagai kiai- untuk bertawasul, membaca tahlil dan doa. Tak sampai satu jam lamanya. Mereka lalu menuju pelataran masjid dan kompleks pesantren untuk menyantap nasi bungkus yang sudah saling dipertukarkan. Setelah makan-makan dan sekadar bercengkrama, mereka pulang.

Memberi Isi Tradisi

Tradisi ini, meski dalam beberapa hal tak persis sama, di kawasan sedikit ke barat, dikenal dengan tradisi “nyadran”. Dari kata Sansekerta Sradha, konon, tradisi pemuliaan roh leluhur ini merujuk pada upacara Sradha yang diselenggarakan Raja Hayam Wuruk guna memuliakan arwah sang ibunda, Tribhuwana Tunggadewi – ada yang menyebut sang nenek, Sri Rajapatni. Di era Wali Songo, ruh tradisi ini berubah: bukan pemujaan roh, melainkan mendoakan arwah leluhur. Dalam garis tradisi inilah nyadran berkembang, dengan berbagai variannya.

Arwah leluhur di pemakaman itu adalah orang-orang yang saleh. Yang paling sepuh di antara orang-orang yang berziarah malam itu, adalah canggah dari makam tertua, yang di atasnya dibangunkan cungkup. Orang-orang desa menghormatinya sebagai cikal bakal, pembabat desa, sekaligus penyebar ajaran tauhid. Mereka meneguhkan tradisi, dalam jaringan kultur Islam perdesaan, Islam dalam ekologi pertanian. Kisahnya, barangkali, mirip kisah Ki Gede Pandan Arang yang makamnya di Tembayat, beberapa kilometer arah selatan Klaten. Konon, setelah menyimak petuah bijak Sunan Kalijaga, Ki Gede Pandan Aran yang masih keturunan bangsawan itu, meninggalkan kehidupan mewahnya, hijrah dari pesisir untuk berdakwah ke selatan, ke pedalaman. Atau, mirip pula, gambaran nostalgi di tempat lain oleh Denys Lombart: “Di sebelah timur Pasundan, tepatnya di daerah-daerah aliran sungai kecil pedalaman yang cocok untuk persawahan, yaitu Garut, Sumedang, dan Tasikmalaya, juga tersimpan kenangan akan pendiri-pendiri yang saleh yang datang dari Cirebon untuk membawa masuk agama Islam.”

Sebuah pesantren yang cukup tua, di desa ini, menggunakan dua nama sang leluhur desa sekaligus pendiri pesantren: Arbai-Qohhar. Nama pertama merupakan santri yang alim yang diambil oleh seorang santri yang kaya akan lahan pertanian. Para pengasuh sekarang merupakan generasi ketiga. Santrinya lintas generasi, dan berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah, bahkan Sumatra. Konon lulusannya ada di hampir seluruh desa di kabupaten ini. Para kiai dan guru-guru di sini menjadi bagian dari jaringan tradisi keilmuan pesantren-pesantren tua di Jawa: Tremas, Tegalsari, Sarang, Kediri, bahkan Timur Tengah. Tak hanya terbangun jaringan keilmuan, sebagaimana lazimnya dalam tradisi pesantren, juga jaringan kekerabatan.

Secara ekonomi, kehidupan pesantren ditopang oleh hasil pertanian, dari lahan sawah milik pesantren. Lahan warisan leluhur ini diwakafkan untuk pesantren. Hasil panen pertanian padi dari lahan wakaf ini digunakan untuk menghidupi kegiatan belajar-mengajar di madrasah diniyah pesantren, juga bisyaroh para masyayikh dan guru-guru, meski tak seberapa. Sebagian besar kiai dan guru pesantren juga bekerja di sawah, sebagai petani. Mereka mengajar para santri, membacakan kitab kuning –kitab yang tanpa memiliki penguasaan gramatika Arab yang baik tak akan bisa membacanya, menjalankan laku rohaniah, sambil menggarap tanah. Beberapa di antaranya memiliki kios-kios di pasar kecamatan, berjualan kitab-kitab pesantren, pakaian, sarung, atau kain batik. Mereka sendiri yang berjualan dan melayani pembeli. Tentang yang terakhir ini, mengingatkan pada Mas Mursyid, atau Ustadz Mursyid, sosok santri alim yang dikagumi KH Saifuddin Zuhri saat remaja, yang juga berdagang batik di pasar Sukaraja, Banyumas.

Orang-orang di sini menjalani hidup secara wajar, sewajar-wajarnya. Sulit mencari ciri pembeda kiai dan masyarakat pada umumnya. Tak ada sorban, merk sarung, atau jenis minyak wangi tertentu sebagai penanda status sosial dalam pergaulan sehari-hari. Kiai tak identik dengan jenggot, jas, baju takwa, jubah, atau santri khadam. Sebutan Gus dan Ning pun tak populer. Seorang kiai bersepeda pancal (gowes/kayuh) untuk berbelanja ke pasar dan membawa sendiri barang belanjaannya, atau ke sawah sambil membawa cangkul dan mengenakan topi caping, adalah pemandangan yang lumrah. Sementara, di pesantren, mereka membaca kitab-kitab kuning -fikih, tafsir, hingga tasawuf.

Bila lebaran tiba, selepas sholat Id, orang-orang bertebaran. Mereka saling-silang berkeliling di sekitar dusun, berjalan dari satu rumah ke rumah lainnya, saling bersalaman: mengucap maaf, meminta restu, mendoakan. Rumah-rumah di sini tak berpagar, tak ada pembatas antarrumah kecuali pekarangan dan pepohonan. Burung-burung bersiul, mencuit-cuit, di sela-sela ranting pohon, seakan ikut bergembira. Mereka kadang hinggap di atas tanah, menemani para pejalan kaki.

Yang tertua di desa ini, kini, adalah seorang nenek tua yang usianya, konon, lebih seratus tahun. Dia tinggal sendiri di sebuah rumah yang sejuk dan asri, di tengah hutan kecil pohon jati. Rumahnya menjadi pusat orbitrasi orang-orang yang ber-sejarah. Dia sendiri tak ikut beredar, cukup di rumah, menunggu para tamu yang datang. Ingatannya luar biasa. Puluhan, bahkan ratusan, orang yang berkunjung kepadanya, sebagiannya dia kenali dengan baik. Bicaranya jelas dan lugas. Hampir dalam setiap ucapannya bertaburan doa-doa.

Mereka ber”sejarah”, menyambung tali silaturahim. Di timur pulau Jawa, orang bilang “nglencer”. Kata ini serapan dari kata Arab syajarah, berarti pohon, atau mempertalikan diri. Dengan “sejarah”, mereka mengikat atau menyambung kembali tali temali yang longgar atau terlepas. Laiknya sebuah pohon, begitulah kehidupan. Struktur pohon -akar, batang, dahan, ranting, dan daun- bagaikan silsilah keluarga. Ada darah yang sama yang mengalir, dari akar hingga daun.

Benteng Tradisi

Maka, ziarah dan “sejarah” adalah benteng tradisi. Dengannya otentisitas terjaga, kemurnian terawat. Seperti air yang menyirami pohon, ia menyuburkan dan merawat agar daun tak meranggas, rantingnya tak lepas, dahannya tak patah. Namun, keniscayaan itu ada: daun-daun yang berjatuhan, ranting-ranting lepas, dahan yang patah, pohon bertumbangan, bahkan akarnya tercerabut dari tanah. Virus, serangga, juga cuaca dan perubahan iklim, juga menggoyahkan struktur pohon. Akibatnya, ada satu-dua daun yang berwarna tak sama dengan lainnya. Ada yang menyimpang. Tak hanya perilaku dan gaya hidup, tapi juga ideologi, bahkan keimanan. Mereka, orang-orang desa itu, merangkulnya agar tetap dalam satu perahu -lewat ziarah dan sejarah.

“Anggen kulo sowan mriki, sepindah silaturrahim.
Kaping kalehipun ngaturaken salam saking poro ahli kagem keluarga mriki.
Ingkang kaping tigo, sugeng riyadin, ngaturaken sedoyo kelepatan.”

Begitulah kalimat pembuka dalam “sejarah” di kalangan orang-orang desa, terutama sekali di kalangan para santri tatkala sowan kepada para kiai dan guru-guru pesantren di desa itu. Kalimat-kalimat itu terstruktur dan terpola, juga seragam –hampir setiap yang bertamu mengucapkan hal yang sama. Sruktur kalimat itu seakan sudah menjadi protap dalam aktivitas “sejarah”.

Struktur kalimat pembuka dalam “sejarah” itu menjadi bagian dari tradisi lisan di kalangan mereka. Tak ada dokumentasi tertulis yang merekam kalimat-kalimat itu. Ia diwariskan secara lisan, turun-temurun, sambung-menyambung membentuk rangkaian sanad yang anonim. Dari segi redaksi, susunan kata tak selalu sama persis. Mirip dengan hadis, redaksi matan hadis juga bisa berbeda –beda untuk masalah yang sama. Ada dua hal: karena -dalam proses transmisi itu- ada yang lebih menekankan segi makna, atau upaya meringkas kalimat-kalimat yang panjang.

Sepintas, terkesan bertele-tele, atau bahkan basa-basi. Namun, ada etika luhur di sini. Ada tata krama yang terlestarikan. Sebagaimana dalam doa-doa, ada puji-pujian yang mendahului, ada salam pembuka, baru kemudian inti pengharapan. Pun, kehadiran seseorang dalam konteks “sejarah” tidak hanya mewakili diri pribadi, melainkan juga mewakili seluruh keluarga batih, atau keluarga besar yang secara fisik tak bisa hadir. Jalinan pun terbentuk, dalam sistem kekerabatan yang mengikat secara lahir maupun batin.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan