Teror Srikandi

46 views

Bullshit lo kalau ngomong tentang Srikandi itu, Cha. Gue nggak percaya tahayul,” ucap Cindy, siswa pindahan dari Jakarta itu. Baru seminggu yang lalu Cindy pindah sekolah ke SMA swasta di desa tempatnya harus tinggal mengikuti neneknya. Di Jakarta tidak ada lagi orang yang akan mengurusnya sejak ayah dan ibunya berangkat ke Singapura seminggu sebelumnya, bersamaan dengan kedatangan Cindy di Desa Sumberpati ini. Cindy cepat beradaptasi dengan anak-anak di desa ini. Dia duduk di kelas 2 SMA, dan sekarang sedang berjalan pulang bersama Icha, teman sebangkunya di kelas.

“Yang aku ceritain ini beneran, Cin. Kamu harus percaya dengan adat yang ada di desa yang dipercayai masyarakat sini. Kalau kamu ndak percaya, kamu bisa jadi korban Srikandi selanjutnya,” jawab Icha menjelaskan dengan nada memperingatkan, juga ekspresi serius kepada Cindy.

Advertisements

Cindy tetap cuek, berjalan santai di samping Icha yang begitu antusias bercerita. “Emang Srikandi itu siapa sih, Cha?” tanya Cindy sambil tetap berjalan, namun sedikit memiringkan kepalanya menatap Icha. Icha menghela napasnya panjang dan bersiap untuk menjelaskan lagi.

“Jadi, Cin, Srikandi itu katanya adalah wanita pendiri Desa Sumberpati ini. Dia wanita yang cantik dan pandai. Dia juga menjadi kepala desa pertama di desa ini. Tapi suatu saat ada seseorang yang iri terhadap pangkat dan kekayaan Srikandi, lelaki orangnya. Namanya Warsito. Sebenarnya warsito ini adalah orang kepercayaan Srikandi, bisa dibilang tangan kanannya-lah. Namun, ternyata dia menyimpan rasa iri kepada Srikandi dan juga dendam karena dia pernah melamar Srikandi, namun Srikandi menolaknya. Srikandi telah mengambil sumpah untuk selamanya tidak menikah demi mengurus Desa Sumberpati ini, makanya dia menolak lamaran dari Warsito…”

Cindy berhenti berjalan karena melihat sebuah pohon yang begitu rindang. “Cha, kita ke bawah pohon situ aja yuk!” ajak Cindy kepada Icha sambil menunjuk salah satu pohon yang ada dipinggir jalan itu. Icha mengangguk lalu melangkah mendahului Cindy dan duduk di bawah pohon itu. “Oke, lanjutin, Cha!” pinta Cindy kepada Icha.

“Pada suatu hari saat sedang sendirian, Warsito merencanakan untuk melenyapkan Srikandi. Diam-diam Warsito bersekongkol dengan orang-orang yang juga ternyata membenci Srikandi. Mereka selalu berkumpul pada malam-malam tanpa sepengetahuan Srikandi. Mereka berencana, setelah melenyapkan Srikandi, warsito akan naik takhta menjabat sebagai kepala desa. Warsito menginjak langkah pertama, yaitu menculik Srikandi lalu menyandranya.”

***

Cindy menatap nyalang pada langit-langit kamarnya yang tampak kusam itu. Rumah nenek Cindy memanglah rumah adat Jawa yang sudah berusia puluhan tahun dan turun-temurun. Membuat rumah itu tampak menyeramkan jika dilihat dari jauh, karena terdapat pohon beringin yang begitu besar dan rindang di depan rumah itu. Akarnya sudah menjuntai ke bawah dan sangat terlihat menakutkan. Rumah nenek Cindy juga terbuat dari kayu di semua bidang. Baik tembok, atap, lantai, dan semua perabot rumah itu masih asli terbuat dari kayu.

Cindy sedang menyeimbangkan pikiran dengan hatinya setelah mendengar cerita-cerita dari teman barunya itu. Karena sampai kapan pun Cindy bersumpah tidak akan percaya kepada hal-hal seperti itu. Menurutnya itu adalah hal yang bullshit. Bahkan, Cindy sempat berpikir bahwa kepercayaan masyarakat Jawa di Desa Sumberpati itu masih sangat primitif. Mereka selalu melakukan larung sesaji dan upacara persembahan untuk Srikandi agar arwah Srikandi tenang dan tidak mengganggu mereka. Bagi Cindy, itu semua tidak ada gunanya.

“Yaelah, ngapain juga gue percaya sama tahayul kayak gitu, itu kan cuma legenda. Mana mungkin sih Srikandi itu dendam sama orang yang nggak mau percaya dengan adanya dia,” ucap Cindy menyadari lamunannya dan beranjak bangun dari pikiran-pikiran yang membuatnya ngeri dan merinding berada di dalam kamar itu sendirian. Cindy lalu bergegas mengambil handuknya dan menuju kamar mandi.

Setelah selesai mandi dan kembali segar, Cindy menemui neneknya di dapur yang sedang menyiapkan makan malam untuknya. Di rumah ini, nenek Cindy tinggal sendirian karena kakek Cindy sudah meninggal sejak empat tahun yang lalu. Cindy adalah cucu tunggal yang dimilikinya, karena ibu Cindy adalah juga anak tunggal yang dimilikinya.

“Besok ada acara larung sesaji, nak. Kamu ikut ya?” ucap nenek Cindy ketika melihat Cindy datang mendekatinya.

“Larung sesaji buat apa sih, Nek. Nggak penting,” jawab Cindy singkat sambil duduk di kursi meja makan.

“Husst.. . jangan begitu,” seketika nenek Cindy berbalik dan menatap Cindy tajam. “Nanti Srikandi marah dan meneror kamu, mau?” Cindy diam tak menjawab, namun tetap menatap kilatan peringatan dalam mata neneknya.

“Udah, besok datang aja ya, sama nenek.” Cindy mengangguk meskipun keberatan.

***

Sudah jam sepuluh malam, namun mata Cindy masih sulit untuk terpejam. Pikirannya begitu nyalang dan was-was memandang jendela kamarnya. Di luar ada suara burung hantu. “Nggak biasanya ada burung hantu di sini.” Gumam Cindy dalam hatinya. Dan entah apa yang membuat kakinya bergerak ingin menuruni ranjang dan melihat di mana suara burung hantu itu berasal. Cindy bergerak pelan menuju jendela di samping kamarnya. Dia mendorong kuat jendela itu sampai terbuka separo. Dan nyaris saja jantungnya meloncat keluar dari dadanya karena terkejut. Itu bukan seekor burung hantu, melainkan seorang wanita yang entah kenapa dia sepertinya menangis sampai isakannya terdengar seperti suara burung hantu.

Namun Cindy tidak bisa melihat wajah wanita itu. Dalam hati Cindy bertanya-tanya, “Apakah… apakah wanita itu Srikandi?” teringat akan cerita Icha kemarin lusa, bahwa Srikandi selalu mengenakan kebaya jawa berwarna merah, rambutnya disanggul, dan ada bunga mawar yang selalu menghiasi sanggulnya.

Dan sekali lagi Cindy memperhatikan wanita yang ada di bawah pohon beringin itu. “Ahh, tidak salah lagi itu dia Srikandi,” ucapnya sekali lagi membatin membenarkan dugaannya. “Tapi… tapi apakah dia menggenggam sebuah belati? Icha bilang Srikandi selalu menggenggam belati ketika meneror seseorang. Dan apakah kini Srikandi sedang menerorku?” Cindy bergidik ngeri merasakan hati dan pikirannya sedang berargumen. Dia merasa tidak akan sanggup menghadapi kenyataan ini bahwa sekarang dia harus berhadapan dengan Srikandi. Wanita yang bahkan tidak pernah dipercayainya ada itu kini berada di sekitar rumahnya.

Cindy bermaksud ingin memastikan sekali lagi kalau wanita itu benar-benar Srikandi yang telah bangkit dan ingin meneror hidupnya. Dan betapa terkejutnya lagi dia ketika tak mendapati seorang pun berada di bawah pohon beringin itu. “Apakah dia sudah pergi?” pikirnya kemudian.

Tiba-tiba, dari belakang punggungnya, seseorang menarik tangannya kasar dan menggoreskan sesuatu tepat pada urat nadinya. Cindy memekik tanpa suara. “Apa yang terjadi padaku? Ke mana suaraku pergi? Seseorang tolong aku!” teriaknya dalam hati ketika mendapati Srikandi yang telah menggores tangannya dengan menggunakan belati yang tadi ingin dipastikannya berada dalam genggaman wanita legenda itu.

Konon, dengan belati itulah Srikandi telah disiksa oleh Warsito. Tidak sekadar goresan yang diberikan Warsito kepada Srikandi, namun benar-benar siksaan. Pelan namun begitu menyakitkan. Warsito memang memupuk dendam sejak lamarannya ditolak oleh Srikandi, dan siksaan untuk menghancurkan kecantikan Srikandi dia lakukan sendiri dengan tangannya sendiri menggunakan sebuah belati. Belati yang semula sangat tajam itu sampai tumpul karena terlalu sering digunakan untuk menggores atau mencongkel sesuatu dalam tubuh Srikandi, dan sampai akhir hayat Srikandi, belati itu tidak pernah diasah oleh Warsito. Warsito memang sengaja membiarkan belati itu tumpul, karena akan menambah sakitnya goresan yang dirasakan Srikandi.

Srikandi benar-benar muncul di depan mata Cindy. Wanita setan itu sangat mengerikan. Rambutya yang tadi terlihat rapi disanggul, kini berantakan dan terlihat ada bekas irisan di semua sisi. Juga puncak kepalanya yang berlubang, membuat darah segar bercecer mengalir ke wajahnya. Wajahnya yang konon sangat cantik itu, sekarang bukan tampak seperti wajah. Bola matanya keluar ke samping kiri dan kanan, hidungnya hanya tinggal separo, dan di bagian alisnya ada bekas sayatan hingga nampak tulang kepalanya. Pipinya juga penuh goresan yang nampak menyakitkan dan tentu saja membuat Cindy ketakutan menatap wanita setan itu.

“Apa? Apa yang dia lakukan di depanku?” tanya Cindy lagi dalam hatinya yang mulai setengah mati berdiri di ambang jendela kamarnya. Cengkeraman itu begitu menyakitkan, membuat darahnya seakan diperas dari goresan belati tumpul itu tadi. Cindy ingin sekali membuka mulutnya dan berteriak minta tolong, namun hanya angin yang dihasilkan dari dalam mulutnya itu.

Sementara Srikandi terus saja membuatnya ketakutan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Cindy mulai mengumpulkan sisa keberaniannya, dia bersiap menarik tangannya dan happ.. mendorong tubuh Srikandi hingga terjungkal jauh di depannya. Sesegera mungkin Cindy mencoba berlari menjauh dari Srikandi, namun entah apa yang membuat kakinya terasa lengket menyatu dengan lantai kamarnya. Cindy tidak bisa bergerak. Dan apa yang dilihatnya ini, malah Srikandi yang bergerak duluan mendekati Cindy lagi.

“Apakah? Apakah Srikandi itu ternyata tidak punya kaki? Dan ke mana kaki kanannya? Kenapa kaki kirinya hanya separo saja?”

Sementara Cindy sibuk dengan berbagai pertanyaan yang hinggap di kepalanya itu, Srikandi bergerak merangkak dengan tangannya yang terbaik, kakinya memang hanya separo, dan itu adalah kaki kiri, bahkan kaki kanannya sudah tidak ada lagi bersama tubuh wanita setan yang malang itu.

Srikandi sudah memegang kaki Cindy, dan dengan sekuat tenaga, Cindy berteriak sekeras mungkin ketika tiba-tiba dia terbangun dan mendapati neneknya berada di sampingnya. Seketika itu, Cindy memeluk neneknya. Menghela napas lega karena teror itu hanya mimpi. Dia masih baik-baik saja, tidak ada goresan dan juga darah yang mengucur lewat urat nadinya. Dan Cindy masih berada di atas ranjang seperti saat terakhir kali dia memulai tidurnya.

Cindy merasakan neneknya begitu kuat memeluknya, seakan ingin meremukkan semua tulang yang ada dalam tubuh Cindy.

“Nenek… apa yang terjadi?” tanya Cindy kepada neneknya, namun lagi-lagi suaranya hilang ditelan angin. Semua pertanyaan itu hanya ada dalam pikirannya, tanpa pernah didengar oleh neneknya.

Lalu tiba-tiba, suara tawa itu menggema dari mulut neneknya yang kini tengah dipeluknya dengan begitu erat. Bukan suara tawa neneknya yang renta itu, melainkan tawa dendam seorang wanita setan yang tadi ada dalam mimpinya. Cindy langsung saja mengalihkan pandangannya kepada punggung wanita itu, dan melihat kebaya warna merah yang khas itu berlumur darah.

“Srikandi tidak akan main-main meneror siapa pun yang tidak mempercayai keberadaannya.”

Ucapan itu menusuk gendang telinga Cindy sampai berdengung dan mengucur darah segar dari dalamnya.

Untuk kesekian kalinya, Cindy berteriak sekuat tenaganya. Mengumpulkan kembali kesadarannya untuk kemudian lari dari wanita setan itu. Ke mana neneknya? Apakah Srikandi juga meneror neneknya? Pertanyaan itu menyeruak memenuhi pikirannya.

***

“Cin, Cindy, bangun!” ucap Icha berteriak di telinga Cindy sambil menggoyangkan tubuh Cindy dengan begitu keras. Temannya itu sudah berteriak-teriak sejak satu jam yang lalu. Karena begitu panik, neneknya memanggil Icha untuk membangunkan Cindy. Karena setahu nenek Cindy, hanya Icha teman dekat Cindy yang ada di desa ini. Icha juga sering datang ke rumah jika sedang mengerjakan tugas kelompok atau sekadar bermain di waktu senggang. Nenek Cindy begitu panik melihat keadaan cucunya itu.

“Nek, aku ada ide, nenek ambil segelas air putih nanti bawa sini ya,” kata Icha kepada nenek Cindy. Tanpa kata, nenek Cindy langsung saja bergegas menuju dapur untuk mengambil air putih yang diminta Icha. Setelah kembali, Icha membacakan surat al-Fatihah satu kali dan meniupkannya dalam air putih itu, kemudian membasuhkan air itu di wajah Cindy dan juga tangan dan kakinya. Setelah selesai, Icha duduk di samping ranjang Cindy dan kembali memanggil nama temannya itu agar cepat terbangun dari mimpi buruknya. “Cin, ini aku, Icha. Bangun, Cin!”

Seketika itu, tanpa peringatan, Cindy terbangun dan duduk di ranjangnya. Dia berkeringat seperti habis lari maraton. “Icha, suara gue udah ada lagi. Nenek, ini beneran nenek, kan? Bukan setan kan?” tanya Cindy bertubi-tubi membuat neneknya tersenyum kebingungan.

“Tentu saja ini nenek Cindy, manusia. Bukan setan.”

Cindy tersenyum lega sambil menghela napas panjang. “Ternyata, mimpi di dalam mimpi,” ucap Cindy kemudian.

“Aku tahu, kamu pasti diteror Srikandi kan, Cin?” tanya Icha menyelidik.

“Wahh, Cha. Lo nggak usah nyebut nama wanita setan itu. Ngeri gue dengernya.”

“Kamu harus minta maaf sama Srikandi, Cin. Karena udah nggak percaya dengan keberadaannya.”

Cindy melirik bingung kepada Icha, “Caranya?”

“Dengan mengikuti ritual persembahan dan larung sesaji besok sore.”

“Iya deh, gue mau ikutin ritual itu. Ngeri juga lama-lama diteror setan.”

“Nahh, begitu dong dari awal.”

Icha tersenyum memeluk Cindy. “Aku ndak mau kalau kamu terus-terusan diteror sama Srikandi. Lama-lama bisa gila kamu, Cin.”

“Gue nggak mau gila, Cha. Besok gue akan minta maaf ke Srikandi.”

“Bener ya, janji?”

“Janji”.

Keesokan harinya, Cindy mengikuti Icha menuju danau di desa Sumberpati untuk melarung sesaji yang sudah dia bawa dari rumah. “Srikandi, aku menghormati keberadaanmu. Maaf karena sudah  tidak mempercayaimu sebelumnya. Sekarang aku bisa menerima keberadaanmu di desa ini. Meskipun kita beda alam. Maafkan aku.”

Sebelum menghanyutkan sesaji yang ada dalam tangannya, Cindy mengucapkan kalimat permintaan maaf itu. Sekarang dia bisa tenang, karena Srikandi sebenarnya hanya bangkit dalam mimpi seseorang yang tidak mempercayai keberadannya, lalu meneror dan membuatnya jera dengan pikirannya yang tidak sejalan dengan keinginan Srikandi itu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan