The Road, Cormac McCarthy. 2006, New York: Knopf.
We wouldnt ever eat anybody, would we?
No. Of course not.
Even if we were starving?
We’re starving now. (The Road, 128)
Sejak awal pandemi, banyak orang tenggelam ke dalam cerita-cerita fiksi ilmiah (sci-fi), salah satunya adalah fiksi bertema akhir dunia. Fiksi bertema akhir dunia atau biasa dikenal dengan fiksi post-apocalyptic memang menarik untuk dibaca. Fiksi jenis ini membangkitkan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya setelah bencana besar menghancurkan dunia yang dikenal sekarang bersama seluruh sistemnya, tanpa pemerintah, hukum, dan peradaban tersisa. Kisah bencananya kadang tidak begitu menarik perhatian, sebab justru manusia yang tersisa atau berhasil selamat dari bencana itu dan bagaimana mereka bertahan hidup lebih membuat pembaca penasaran.
Novel bertema post-apocalyptic ini bukanlah fenomena baru. Mary Shelley dengan novelnya The Last Man yang terbit pada 1826 termasuk salah satu novel post-apocalyptic lama yang cukup terkenal. Novel tersebut menceritakan tentang wabah yang membabat habis manusia dan di tengah chaos yang terjadi antara manusia-manusia yang berhasil selamat, muncul seorang tokoh utama dengan kualitas pribadi berbeda dengan manusia lain dan menjadi penyelamat di tengah kekalutan-kekalutan chaos tersebut.
Banyak novel dengan tema serupa yang terbit kemudian, seperti I Am Legend karya Richard Matheson yang berkisah tentang pertarungan manusia dengan vampir setelah wabah besar yang memporak-porandakan sistem kehidupan manusia. Kemudian novel-novel zombie atau fiksi sains seperti serial The Hunger Games, Maze Runner, Divergent, dan lain sebagainya yang muncul beberapa waktu terakhir juga berkaitan dengan tema akhir dunia.
Berbicara tentang novel post-apocalyptic, kita tidak bisa melewatkan salah satu novel besutan Cormac McCarthy berjudul The Road. Novel ini terbit pada 2006 dan memperoleh penghargaan Pulitzer Prize pada 2007. Novel ini semakin ramai dibicarakan dan dibahas sampai akhirnya McCarthy berkenan tampil pertama kali di TV dalam wawancara bersama Oprah Winfrey dan secara khusus membahas novel The Road serta penghargaan Pulitzer yang diterimanya.
Novel-novel post-apocalyptic biasanya bercerita tentang bagaimana terjadinya bencana, bagaimana tokoh utama yang pada akhirnya menyelamatkan para survivor yang tersisa pasca-bencana, atau menceritakan perkelahian antartokoh atau kelompok demi bertahan hidup.
Tetapi novel The Road ini berbeda. Novel ini berbicara tentang perjalanan yang sangat emosional antara ayah dan anak dalam melewati dunia pasca-bencana demi mencari kehidupan yang lebih baik. Dunia yang digambarkan dalam novel The Road adalah lanskap dunia yang hancur, abu-abu dan gelap, penuh debu, tanah yang terbakar, pepohonan mati, ketiadaan tanda-tanda kehidupan, mobil-rumah-supermarket yang semua terbengkalai dan ditinggalkan.
Dalam narasinya, McCarthy menyebutkan para survivor dengan jumlah yang tidak banyak berkelana di dunia post-apocalyptic ini dengan mengenakan baju-baju ‘biohazard’ dan memakai masker serta kacamata seperti pilot. Meskipun tidak dijelaskan bencana apa yang menyebabkan hancurnya dunia tersebut, apakah holokaus nuklir atau jatuhnya meteor dari luar angkasa, tetapi narasi-narasi McCarthy di novel menunjukkan kondisi dunia yang semakin memburuk setelah bencana yang entah apa itu. Malam digambarkan lebih kelam dari biasanya, siang semakin kelabu, dan suhu udara semakin dingin sampai terasa beku.
Detail lanskap dunia yang hancur secara fisik dan kemanusiaan ini digambarkan dengan begitu nyata untuk memberikan konteks pada dua tokoh utama yang menjadi sentral cerita; yaitu seorang ayah dan anaknya yang kurang lebih berusia 10 tahun. Tokoh anak ini lahir tak lama setelah bencana dan dibesarkan sendirian oleh ayahnya sebab sang ibu memilih untuk mati bunuh diri daripada hidup di dunia yang tidak lagi menjanjikan apa-apa.
Setelah bencana besar dan kematian bagi sebagian besar orang, ayah dan anak ini melakukan perjalanan ke arah Selatan dengan harapan menemukan kehidupan yang lebih baik, yaitu tempat yang jauh lebih hangat dan tempat yang mungkin menyisakan orang baik sebagai teman bagi mereka. Sepanjang perjalanan itu, mereka harus bertahan dari udara dingin yang mencekam dan berhati-hati dari ancaman bertemu para survivor lain yang menjadi predator. Sebab, dengan hancurnya dunia yang tak lagi memungkinkan berjalannya proses produksi, proses konsumsi bagi sebagian orang yang masih bertahan hidup setelah bencana telah menciptakan banyak kanibal yang memangsa sesamanya untuk bertahan hidup.
Satu hal yang membedakan The Road dengan novel-novel post-apocalyptic lainnya adalah penulisannya yang sengaja menghilangkan tanda baca seperti apostrop dan tanda kutip penanda dialog. Penghilangan tanda baca ini seolah ingin menunjukkan bahwa bersamaan dengan hancurnya dunia, hancur pula sistem penanda kata-kata. Dialog-dialognya pun sangat singkat. Percakapan ayah dan anak sangat sedikit dan kebanyakan diisi oleh pertanyaan “ya atau tidak”.
Hal terakhir yang membuat novel ini menarik adalah bahwa tokoh utama si ayah dan anak ini tidak memiliki nama, hanya disebut sebagai ‘father’ dan ‘son’ seolah ingin menjelmakan kedua tokoh ini pada semua orang. Bahwa tokoh ayah dan anak ini bisa siapa saja, bisa saya, bisa juga anda. Dan terlepas dari apa pun yang terjadi, sehancur apa pun dunia dengan segala ketiadaan sistem masyarakat, sumber makanan, bahkan kebaikan, perjuangan terberat yang harus dilakukan adalah tidak semata bertahan hidup tetapi juga bertahan untuk tetap menjadi manusia yang baik.
The Road muncul sebagai sebuah tawaran tema post-apocalyptic yang berbeda, yang tidak melulu berbicara tentang bencana dan perkelahian, tetapi tentang hubungan emosional keluarga dan upaya menjaga serta mempertahankan humanisme. Dan bagi siapa saja yang tertarik dengan tema-tema akhir dunia, novel ini sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja.