“Harga yang kami tawarkan sudah tertinggi di daerah ini Pak. Coba tanyakan kepada orang-orang yang Bapak kenal atau mungkin pejabat di kelurahan di sini. Harga yang kami tawarkan empat kali lipat dari harga normal,” kata Aldi, staf humas sebuah perusahaan swalayan waralaba.
“Aku tak berniat menjualnya. Walaupun kamu tawar tokoku seharga satu triliun,” timpal Yudis.
“Atau kami tawarkan Bapak sebagai investor swalayan yang hendak kami dirikan. Setiap bulannya Bapak akan mendapatkan tiga persen dari keuntungan perusahaan kami. Kakek akan mendapatkan uang semiliar, dan penghasilan sampai lima juta per bulan. Pengahasilan ini bisa naik jika omzet swalayan kami naik, dan bisa diwariskan selama swalayan yang kami kelola terus beroperasi.”
Sekali lagi kakek itu menolak dengan sangat tegas. “Apa pun yang perusahaan Anda tawarkan untuk toko saya, tidak akan kami terima.”
“Baik Kek, ini kartu nama saya. Jika Kakek ingin mengajukan persyaratan lain kepada perusahaan kami, silakan datang ke kantor kami atau bisa menelepon kami.”
Aldi berpamitan. Seketika anak-anak Yudis menuju ruang tamu.
“Kenapa Ayah masih mempertahankan toko ini? Tawaran mereka sudah terlalu tinggi, Yah.”
“Benar kata Mas Anto. Kemarin toko milik Pak Sul yang lebih besar dari kita hanya laku tiga ratus juta rupiah. Ayah juga mendapatkan bagi hasil lima juta per bulan. Itu sudah sangat tinggi, Yah,” kata Yui, anak kedua Yudis.
Tanpa perkataan, Yudis meninggalkan mereka. Ia menuju ke kamarnya. Ia pun menangis sambil mengeluarkan sebuah baju batik tua kemudian memeluknya erat.
***
Yudis teringat kenangan empat puluh tahun yang lalu ketika Mulyono, ayahnya, berpesan kepadanya agar menjaga Amalia setiap kali menyeberangi Sungai Brantas. Jangan sampai Lia bermain ke pinggir perahu tambang.
“Ayo kita naik perahu. Ingat Lia, jangan pernah melepaskan gandengan tanganku sampai kita melewati tanggul seberang sana!” perintah Yudis kepada adiknya. Lia mengangguk.