Hari masih gelap ketika aku mendengar suara “prang” beruntun yang membuat perasaan tidak enak. Saya baru selesai melaksanakan sholat subuh dan masih menggumamkan dzikir setelah sholat. Suara “prang” itu membuat saya terdiam sejenak. Suara Mbah Nyai mengimami sholat subuh masih terdengar samar dari arah mushola putri. Saya ragu apa harus berlari ke dapur sekarang atau tidak. Dan ketika keputusan itu bahkan belum bulat, suara ribut orang bicara sudah terdengar sampai ke kamarku. Akhirnya, dengan mukena masih terpasang, saya memutuskan untuk segera menyusul ke dapur.
Seorang santri terlihat sedang duduk memeluk lutut sambil menenggelamkan wajahnya di antara dua pahanya. Ia menangis dengan suara nyaring seperti anak-anak TK menangis. Sementara Mbak Imah, salah seorang pengurus pondok yang mungkin berhalangan sholat terlihat sedang menanyai santri tersebut sambil setengah marah-marah.
Melihat kedatanganku, Mbak Imah memelankan suaranya. Aku mengedarkan pandangan dan menemukan sumber masalahnya. Kursi kayu di samping rak terjungkal dan baskom besar serta lusinan piring yang kini pecah berserakan di lantai. Acara haul memang tinggal dua hari, sehingga sudah sejak beberapa hari terakhir ini barang pecah belah dari kamar perabot memang satu per satu dikeluarkan untuk dibersihkan. Biasanya barang pecah belah yang baru dicuci memang sengaja ditumpuk di baskom-baskom besar untuk menunggu kering. Selanjutnya, barang pecah belah itu akan ditata di lemari dapur dan sisanya ditaruh di meja panjang untuk persiapan haul. Naasnya, salah satu baskom besar berisi lusinan piring itu pagi ini hanya tersisa pecahannya saja.
Belum sempat saya bertanya apa-apa, ummi muncul dari belakang saya. Mbak Imah semakin menundukkan pandangannya.
“Duh, ada apa ya?” tanya beliau. Saya menoleh dan melihat beliau masih memakai mukena. Tangan kanannya memegang tasbih kokah dan tangan kirinya menyincing mukena supaya ujungnya tidak jatuh ke lantai. Mulutnya berkomat-kamit melantunkan dzikir. Sesekali saya melihat jari jemarinya memutar biji-biji tasbih di tangan kanannya.
“Piring pecah Mi,” jawab saya.
Ummi melongok ke arah kursi kayu yang terjungkal dan piring-piring yang pecah berserakan. Saya kira beliau akan marah atau bertanya-tanya dengan suara meninggi. Tapi, beliau justru malah berjalan ke arah santri putri yang menangis itu, melewati saya yang masih berdiri mematung, dan merangkulnya.
“Kamu nggak apa, Nak?” tanya ummi. “Nggak ada yang luka kan?”
Mendengar pertanyaan ummi, suara tangisan santri putri itu bukannya reda tapi malah semakin nyaring.
“Loh, sudah-sudah… tidak apa-apa…,” umm masih berusaha menenangkan tangisan santri putri tersebut.
Saya melongok-longok ingin melihat wajah siapa di sana. Kerudung hitam polos dan seragam pondok membuat santri tersebut sulit dikenali. Biasanya saya paham dengan baju-baju milik santri putri. Tetapi kalau pakai seragam begitu, tentu sulit membedakan punya siapa dan siapa. Suaranya sih seperti suara Badriyah. Tolak, maksud saya. Tapi ngapain Tolak ke sini pagi-pagi buta begini. Dia bukan santri ndalem yang suka bantu-bantu masak atau bersih-bersih.
Santri putri itu sama sekali tidak mengangkat wajahnya. Ummi berusaha menenangkannya sekali lagi dan memintanya untuk bangun. Dengan isyarat tangan, ummi meminta Mbak Imah untuk pergi. Setelah Mbak Imah pamit undur diri, ummi menoleh ke arah saya. Meminta saya untuk pergi juga. Saat itulah saya melihat santri putri itu mengangkat wajahnya. Lah, benar si Tolak!