Diyakini atau tidak, Al-Qur’an sejak awal memang telah meletakkan pesan-pesan toleransi. Sebenarnya hal tersebut telah termaktub dalam ayat-ayatnya, yang di dalamnya berintikan mengenai pengakuan antarumat beragama, menghargai eksistensi penganut lintas agama dan kepercayaan. Al-Qur’an sebagai dasar utama umat Islam sejatinya telah mengatur interaksi sosial dalam keberagaman sehingga kemudian lahir sebuah kerukunan yang dinamis.
Apa yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an ihwal toleransi tersebut ternyata telah diimplementasikan oleh Rasulullah SAW pada masanya. Termasuk para sahabat yang juga mempraktikkan apa yang menjadi tuntunan Al-Qur’an tersebut agar tetap hidup damai di tengah perbedaan. Rasul dan para sahabat waktu itu membuat dialog dan perjanjian untuk hidup berdampingan dengan kelompok lain.
Rasulullah SAW —secara kedudukan— memang diberikan wewenang untuk menjadi penjelas (bayan) terhadap tafsir atau interpretasi Al-Qur’an. Maknanya, apa yang dikatakan Nabi (qaul), yang dilakukan (fi’l), dan yang menjadi ketetapannya (taqrir) adalah semata-mata apa yang telah dicerminkan oleh Al-Qur’an.
Sehingga, penjelasan dari Nabi Muhammad SAW (hadis), baik berupa ucapan, perbuatan, dan taqrir harus selalu menjadi acuan dalam memahami Al-Qur’an. Sebab, Nabi selalu berada dalam pengawasan Allah SWT. Sehingga, meskipun statusnya sebagai manusia yang bisa saja salah, namun dirinya terjaga karena berada dalam pengawasan-Nya.
Bahkan, Mufassir Ibnu Katsir sendiri menilai, setiap sesuatu yang keluar dari Nabi SAW harus diterima. Apa pun yang diperintahkan Nabi, menurut Ibnu Katsir, harus dijalankan. Sebab, Nabi hanya senantiasa memerintahkan yang baik saja dan melarang apa-apa yang buruk. Termasuk dalam mencari penjelasan dan interpretasi mengenai ayat-ayat toleransi, maka harus berpangku dan mencontoh terhadap apa yang dilakukan Nabi SAW ketika berinteraksi dengan komunitas yang berbeda (beda agama, misalkan).
Hubungan Nabi SAW dengan komunitas Kristen di Makkah bisa dibilang cukup erat. Bahkan, Nabi SAW juga menjalin hubungan yang baik dengan komunitas tersebut. Sebut saja Waraqah bin Naufal, yang dalam kitab Tajridus Sharih dikenal sebagai tokoh agama Kristen di Makkah. Dijelaskan dalam kitab tersebut bahwa ketika Nabi SAW menerima wahyu melalui sebuah mimpi, Waraqah yang mencoba menafsirkannya. Inilah salah satu indikator bahwa Nabi memang sejak awal telah mencitrakan hubungan toleransi.