Di Madura, masyarakat muslim sangat menanti-nantikan Hari Raya Ketupat (Tellasan Topak). Terutama bagi mereka yang melakukan puasa sunah Syawal selama enam hari. Meski tidak dianjurkan di dalam Islam, Lebaran Ketupat yang jatuh setiap tanggal 7 Syawal dalam setiap tahunnya, merupakan tradisi bernapaskan Islam.
Mengapa Tellasan Topak dikatakan tidak dianjukan di dalam Islam? Karena, sebenarnya, Lebaran/Hari Raya dalam Islam hanya ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Pada dua hari raya ini umat Islam dianjurkan untuk melaksanakan salat sunah “ied” (hari raya).
“Ketika Nabi Muhammad SAW datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau bersabda, aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha (hari Nahr).” (HR An-Nasai no 1556 dan Ahmad 3:178, sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, sebagaimana kata Syekh Syu’aib Al-Arnauth).
Meski demikian, di Indonesia, khususnya di Madura, Lebaran Ketupat diadakan sebagai tradisi turun temurun. Lebaran Ketupat, menurut Fadly Rahman dalam bukunya Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016), sudah ada sejak zaman Hindu-Budha tepatnya pada abad ke-15 sampai 16 Masehi.
Pada waktu itu, ketupat pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga sebagai sarana dakwah penyebaran agama Islam di Indonesia. Karena sudah mengakar kuat itulah, Lebaran Ketupat dianggap sebagai tradisi Islam di bumi Nusantara. Sesuai dengan nilai-nilai yang dibawa waktu perayaan lebaran, ketupat sendiri merupakan singkatan sebuah frasa berbahasa Jawa, yaitu “ngaku lepat” yang artinya mengakui kesalahan. Ada juga yang mengartikan istilah itu sebagai “laku papat” yang berarti empat tindakan.
Ngaku lepat ini dilakukan dengan tradisi sungkeman kepada kedua orang tua sebagai permohonan maaf. Hal ini mengajarkan anak untuk selalu menghormati orang tua dan saling mengasihi antara mereka. Sungkeman juga dilakukan kepada sanak famili dan tetangga. Hal ini menuntun kita umat Islam agar saling memaafkan. Karena, sejatinya, manusia tidak luput dari kesalahan dan lupa. (Al-insaanu mahallul khata’ wan-Nisyan).