Setiap kali bulan September datang, kita selalu diingatkan dengan sebuah tragedi besar dalam sejarah bangsa: 30 September 1965. Ada yang menyebutnya tragedi nasional, ada yang menyebutnya gerakan makar, dan ada pula yang mengingatnya sebagai pembantaian massal. Terlepas dari beragam versinya, satu hal yang tak bisa dipungkiri: ratusan ribu hingga jutaan jiwa melayang, banyak di antaranya bahkan tidak tahu-menahu soal politik atau ideologi. Inilah yang membuat tragedi ini harus dibaca melampaui sengketa politik, yakni melalui lensa Fikih Kemanusiaan.
Dalam tradisi Islam, darah manusia itu sangat berharga. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “Hancurnya dunia lebih ringan bagi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim tanpa hak.” (HR. Tirmidzi).

Bahkan dalam Al-Qur’an ditegaskan: “Barang siapa membunuh satu jiwa tanpa hak, maka seolah-olah ia membunuh seluruh manusia.” (QS. al-Maidah: 32).
Tragedi 1965 mengingatkan kita pada prinsip dasar fikih: tidak ada dosa yang bisa diwariskan, dan tidak ada orang yang boleh dihukum karena kesalahan orang lain. Allah sendiri menegaskan: “Seseorang tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. al-An‘am: 164).
Kisah tragis itu digambarkan dengan sangat menyayat hati dalam film Kupu-Kupu Kertas. Di sana ada seorang pemuda NU yang jatuh cinta pada seorang gadis. Sang gadis adalah anak seorang tokoh PKI, namun ia sendiri tidak pernah setuju dengan ideologi yang dianut ayahnya. Bahkan, si pemuda NU justru ingin melindungi sang gadis dari amarah massa. Tetapi apa daya, justru si pemuda dituduh antek PKI, ditangkap, dan akhirnya dibunuh. Padahal satu-satunya “kesalahannya” hanya mencintai, hanya ingin menjaga orang yang ia kasihi.
Bukankah kisah itu cermin dari betapa bahayanya kebencian yang membutakan mata hati? Betapa ngerinya ketika vonis ideologis membuat kita menutup telinga dari fakta bahwa setiap orang punya pilihan dan jalan hidup sendiri?
Di situlah maqashid syariah memberi teguran keras. Syariat Islam hadir untuk menjaga lima hal pokok (al-Dharuriyat al-Khams): agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Namun dalam tragedi itu, justru lima hal itu semua hancur: jiwa direnggut, akal dibungkam oleh fitnah, harta dirampas, dan yang terpenting, kehormatan serta keturunan juga direnggut. Stigma ideologi menjalar lintas generasi, merampas hak hidup, pekerjaan, dan masa depan anak cucu mereka selama puluhan tahun.
Para fukaha memang membahas soal bughat (pemberontakan) dan membolehkan penguasa menindak tegas pemberontak. Tapi syaratnya jelas: harus terbukti benar-benar melakukan makar, tidak boleh membabi buta, dan tetap harus mengedepankan keadilan.
Imam al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sultaniyyah bahkan menekankan, tindakan terhadap pemberontak tidak boleh merusak pihak yang tidak terlibat. Oleh karena itu, pembantaian massal yang menyasar keluarga, anak-anak, dan orang-orang yang hanya dicurigai—bahkan yang hanya mencintai seperti dalam film itu—bukanlah penegakan fikih bughat, melainkan penyalahgunaan kekuasaan yang terang-terangan melanggar prinsip keadilan dalam Islam.
Di sinilah letak pelajaran besar untuk kita hari ini. Islam tidak pernah mengajarkan balas dendam, apalagi dengan menumpahkan darah orang-orang yang tak bersalah. Justru Islam mendorong penyelesaian dengan adil, proporsional, bahkan dengan ruang maaf.
Tragedi 30 S/PKI seharusnya menjadi cermin: jangan ulangi kekerasan atas nama ideologi. Jangan lagi ada cerita orang dituduh tanpa bukti, lalu dipenjara, disiksa, atau bahkan hilang tanpa kabar. Nilai-nilai fikih mengingatkan kita, bahwa menjaga jiwa dan menegakkan keadilan adalah bagian dari menjaga agama itu sendiri.
Maka, membaca tragedi ini lewat kacamata fikih bukan untuk mengulang luka lama, melainkan untuk memastikan: kita belajar dari masa lalu, agar darah yang tak berdosa tak lagi tumpah di masa depan, dan keadilan kemanusiaan ditegakkan di atas segalanya.
Sumber ilustrasi: “Mengungsi” karya Henk Ngantung.