…, Trump, dan Lain-lain

82 views

Trump adalah fenomena. Dan ia memang fenomenal. Dari seorang pebisnis sukses, Donald Trump bertransformasi menjadi tokoh politik paling populis yang memegang tampuk kekuasaan paling berpengaruh sejagat: Presiden Amerika Serikat.

Tapi Trump juga sebuah paradoks. Lahir dari rahim demokrasi, ia mengada dalam sebentuk antitesis demokrasi.

Advertisements

Jika kita membaca kembali buku Bagaimana Demokrasi Mati (How Democracies Die) karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2018), sejak mula kemunculannya di panggung politik dunia Trump adalah penggambaran dari karakter-karakter antidemokrasi yang lahir dan hidup di alam demokrasi.

Karakter-karakter itu menjadi begitu telanjang di panggung kontestasi pemilihan Presiden Amerika Serikat hari-hari ini. Tidak bisa atau tidak mau menerima kekalahan dan kemudian mencoba mendelegitimasi lembaga penyelenggara pemilihan umum (pemilu) adalah di antara indikator karakter antitesis demokrasi itu.

Tokoh populis dengan karakter seperti ini selalu menaburkan narasi kecurangan di pihak lawan, bahkan sebelum pertandingan dimulai; hanya kecurangan yang bisa menumbangkan dirinya. Narasi seperti ini dibangun untuk menggiring dan membentuk opini publik bahwa dirinya sebagai representasi dari kebenaran dan kebaikan, dan sisi yang berseberangan, lawannya mewakili kesesatan dan kejahatan. Kontestasi demokrasi dibayangkan sebagai peperangan antara kebaikan melawan kejahatan, antara tentara Tuhan melawan setan-setan.

Jika akhirnya memenangi kontestasi demokrasi, dan duduk di kursi kekuasaan, apa yang dilakukan tokoh populis seperti ini dengan kekuasaannya adalah pembusukan dan pembunuhan demokrasi dari dalam, justru melalui cara-cara dan lembaga-lembaga demokrasi. Yang paling kasat mata adalah apa yang dilakukan melalui pengerasan politik identitas. Baik politik identitas berdasarkan agama, ras dan kesukuan, maupun kelompok-kelompok lain. Pengerasan politik identitas ini, di antaranya, mewujud pada penegasian atau penafian terhadap kelompok identitas lain.

Yang paling ekstrem, misalnya, terjadi pada pengerasan politik identitas berbasis agama. Beragama tidak lagi berurusan dengan bagaimana menjadi manusia yang lebih baik, melainkan bagaimana meniadakan atau bahkan kalau bisa membasmi mereka yang tak seiman.

Amerika hanya untuk orang Amerika, atau America First, adalah jargon politik Trump yang mengisyaratkan suatu kebijakan yang “tertutup” di tengah dunia yang tak lagi tersekat-sekat oleh batas-batas kuno. Itu bagian dari pengerasan politik identitas selama empat tahun terakhir Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Trump. Di sana, Trump akan membawa bangsa Amerika hidup dalam kotak tempurungnya sendiri, dengan membenci bangsa lain. Trump membayangkan, Amerika akan dikelilingi oleh benteng setinggi langit, seperti istana raja-raja di masa lalu, agar masyarakat dari negara-negara sekitarnya tak bisa menerobos masuk.

Sekali lagi, jika kita membaca kembali buku karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, tergambar bagaimana demokrasi di Amerika Serikat, yang dulu mendaku sebagai kampiun demokrasi dunia, mengalami pembusukan dan menuju kematian. Puncaknya adalah saat tokoh politik populis seperti Trump memasuki Gedung Putih.

Trump memang fenomenal. Tapi ia bukan fenomena pertama dan terakhir. Masih banyak yang lainnya. Di banyak negara, entah di Eropa, Asia, atau lainnya, banyak muncul tokoh-tokoh polulis dengan karakter Trump. Politik identitas, yang penguatannya diusung oleh tokoh-tokoh populis seperti ini, memang seperti lagu nina bono, ia begitu menenangkan dan melenakan. Tapi begitu kita terlena, dimulailah babak baru anti-demokrasi itu

Pengerasan politik identitas baik berbasis agama maupun ras atau etnis akhirnya seperti wabah, pandemi, yang terus menular dan menjalar ke mana-mana. Apa yang pertunjukkan oleh Prancis, juga Turki, hanya sebagian kecil contohnya. Juga di Indonesia.

Beruntung, hasil pemilu Amerika Serikat saat ini bukan cerita tentang kemenangan Joe Biden, melainkan tentang ketertolakan Trump untuk memasuki Gedung Putih kedua kalinya. Rakyat Amerika tidak sedang memenangkan Joe Biden, tapi lebih memilih menolak Trump. Sepertinya orang Amerika sedang mencoba berbenah, karena rumah demokrasinya sedang goyah.

Begitulah demokrasi. Tak sempurna, memang. Dan tak akan pernah sempurna. Tapi justru dengan ketaksempurnaannya itu, sistem demokrasi menyediakan diri untuk terus dikoreksi. Dan suara kita masih punya arti. Tak ada pendakuan kebenaran absolut. Tak ada yang berpretensi dirinya mewakili Tuhan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan