TUAN: TABIAT KETIKA HUJAN
Relung hati saat hujan menggambarkan roh punah mendiang tanah-tanah cahaya
Dengan segala mata terkesima dibuatnya
Deras titik menghujani kota-kota kering, tubuhnya angkuh
Bersama embun habis hujan yang lama tak turun
Kueja jejak kakimu dengan abjad dan angan kosong
Adakah yang lebih peduli ketimbang hujan?
Dari surau aku meleleh, membiarkan terbang dibawanya batu-batu kristal
Namun tetap saja kau menenggelamkan oretan tua dan kuserguk bunga
Tuan, aku tak tahu mengenal sosok sapaan hujan saat ini
Dingin berkali-kali membelai kepala dikisahnya dongeng-dongeng
Tuan dari Kembangsoka
Ditanamnya padi dan jagung pagi-pagi, dirapalkan mantra
huruf, saraf-saraf pada masing-masing yang merunduk
Memalingkan tirai semu mengetuk jagat
Oh, keramat.
Sumenep, 2022.
YANG TERANG DARI TANAH
Suatu waktu ketika pekarangan sepi dari pematang sawah besar harap kincir angin menerpa tubuhnya
Mungkin tak ada yang lebih tabah
Tanah diam-diam terpendam oleh matang
Masa lalu tak pernah berdebu,
biarkan aku menungganginya kuda-kuda mereka mengenang dauh loka
Dalam tanah ia senantiasa memanjat doa-doamu yang mungkin tak pernah kau tahu.
Tak ada tanah yang batu menenggelamkan kepalanya diri sendiri
Berbiak seribu
Rupanya, ada tanah menyukai semesta di pangkuanku
Sumenep, 2022.
KEPADA NA
Na,
:sebuah lakon kecil di Kembangsoka lalu
Risalah kertas putih tebal
Bisa memimpikan bidadari
Itulah sebabnya janji ini kekal dalam sajak-sajak
Na,
Sewaktu, mahkota dipakaikan di kepala
genap sehelai benang putih melingkar di tubuhnya
Lelaki tak pernah menoleh ikut menanggalkan daun-daun
Menjadikan ratusan mata menyepi menepis baying-bayangnya
Titah-Nya abadi
Sumenep, 2022.