Kopi dan rokok bukanlah sekadar benda konsumsi yang melengkapi aktivitas harian. Di tangan masyarakat Muslim Indonesia—terutama kalangan santri—keduanya menjelma menjadi simbol kehidupan, bahkan semacam bahasa kebudayaan yang sarat makna.
Syekh Ihsan Jampes dalam Irsyadu Al-Ikhwan li Bayani Syurbi Al-Qahwati Wa Ad-Dukhoni pernah menegaskan bahwa kopi dan rokok bukanlah perkara terlarang. Sebaliknya, ia bisa menjadi instrumen penguat spiritualitas, pengusir kantuk dalam wirid malam, bahkan pemantik kreativitas intelektual. Dengan demikian, kopi dan rokok menyingkap wajah kehidupan sehari-hari santri yang berada di persimpangan antara sakralitas dan profanitas.

Namun yang menarik, filsafat justru lebih berani membaca simbol-simbol semacam itu secara jujur. Berbeda dengan ceramah pagi yang sering kali dipenuhi nasihat moral hitam-putih, filsafat hadir sebagai jalan berpikir yang melampaui moralitas normatif. Ia tidak sekadar melarang atau mengizinkan, tetapi menelisik ke lapisan terdalam dari fenomena.
Pertanyaan filosofis sederhana seperti, “Mengapa kita merokok?” atau “Apa arti secangkir kopi dalam relasi manusia dengan Tuhan?” bisa menyingkap horizon pemikiran yang jauh lebih luas ketimbang seribu retorika klise.
Ontologi Kehidupan
Dalam perspektif ontologi, kopi dan rokok adalah “ada” yang menyingkap eksistensi manusia. Martin Heidegger menyebut manusia sebagai Dasein, makhluk yang dilempar ke dunia tanpa pilihan, tetapi dituntut untuk memberi makna pada hidupnya.
Secangkir kopi panas yang mengepul di tengah malam, atau sebatang rokok yang diisap di serambi pesantren, adalah momen-momen keseharian yang justru menghadirkan kesadaran eksistensial. Bukan hal besar, bukan pula mukjizat, melainkan keseharian yang sederhana—namun di situlah keotentikan muncul.
Ceramah pagi, sebaliknya, cenderung mengabaikan dimensi keseharian ini. Ia sibuk membicarakan pahala, dosa, surga, dan neraka, tetapi lupa pada keintiman sederhana antara manusia dengan hidupnya. Dalam hal ini, filsafat lebih jujur: ia menolak lari dari banalitas hidup dan justru menggali makna dari hal-hal kecil. Albert Camus menyebutnya sebagai absurditas—bahwa hidup ini tidak selalu logis, tetapi justru dari absurditas itulah manusia bisa menemukan kebebasan. Kopi dan rokok adalah absurditas yang dirayakan, bukan dihindari.
Kritik terhadap Dogmatisme
Filsafat lahir dari keberanian untuk meragukan. Socrates, sang bapak filsafat, pernah berkata: “An unexamined life is not worth living.” Hidup yang tidak dipertanyakan adalah hidup yang sia-sia.
Sementara, ceramah pagi sering kali mematikan semangat bertanya ini dengan jawaban instan: “Karena sudah ada aturannya dalam kitab.” Tetapi filsafat justru menghidupkan keberanian untuk bertanya ulang, bahkan jika itu menyakitkan.
Michel Foucault menyebut praktik ini sebagai parrhesia —keberanian berkata benar di hadapan kekuasaan.
Dalam konteks santri, keberanian itu berarti berani menanyakan ulang apakah benar kopi dan rokok hanya dilihat dari kacamata halal-haram semata. Bukankah ada makna sosial, kultural, bahkan ontologis yang lebih dalam? Bukankah kopi juga mengandung nilai persahabatan, musyawarah, bahkan resistensi terhadap homogenisasi budaya global?
Dialektika Spiritualitas
Tidak bisa dimungkiri, kopi dan rokok juga punya dimensi transendental. Dalam pandangan sufi, keduanya menjadi medium yang mengantarkan manusia pada perenungan spiritual. Secangkir kopi di waktu malam bisa menjadi pengusir kantuk dalam wirid panjang. Sebatang rokok bisa menjadi “pengiring rasa” ketika seorang santri merenungi bait-bait hikmah Imam al-Haddad atau memikirkan tafsir kehidupan.
Filsafat memberi kita bahasa untuk memahami dimensi ini tanpa harus terjebak pada moralitas sempit. Dialektika Hegel mengajarkan bahwa setiap fenomena selalu bergerak dalam ketegangan antara tesis dan antitesis, lalu melahirkan sintesis baru.
Kopi dan rokok bisa dipandang sebagai tesis kenikmatan duniawi, sementara ceramah pagi mungkin mewakili antitesis berupa larangan normatif. Tetapi dalam dialektika, keduanya bisa bertemu dalam sintesis yang lebih tinggi: kesadaran bahwa manusia hidup di ruang paradoks, di mana kenikmatan dunia justru bisa menjadi jalan menuju keheningan spiritual.
Filsafat dan Kejujuran
Kejujuran filsafat terletak pada keberaniannya menyingkap realitas tanpa tabir. Ia tidak membungkus fakta dengan jargon normatif, tidak pula menakut-nakuti dengan retorika dosa. Filsafat tahu bahwa manusia adalah makhluk yang penuh kontradiksi: bisa merokok sambil mengaji, bisa menyeruput kopi sambil berzikir. Kejujuran ini membuat filsafat lebih dekat dengan realitas ketimbang ceramah pagi yang sering kali sekadar mengulang kata-kata tanpa pengalaman hidup yang nyata.
Nietzsche, dengan lantang, pernah mengkritik moralitas tradisional sebagai bentuk kebohongan kolektif. Ia mengajak manusia untuk berani menciptakan nilai baru melalui semangat will to power. Dalam konteks ini, mungkin benar bahwa filsafat lebih jujur daripada ceramah pagi: ia tidak menutupi paradoks hidup, tetapi justru merayakannya sebagai sumber kekuatan.
Filosofi Rokok dan Kopi
Pada akhirnya, secangkir kopi dan sebatang rokok tidak hanya menghangatkan tubuh, tetapi juga menyulut percakapan panjang tentang makna hidup. Dalam kepulan asap rokok, dalam pahit manis kopi, manusia menemukan keheningan yang tidak bisa diajarkan oleh ceramah formal. Justru, dalam perenungan sederhana itulah filsafat mengajarkan kejujuran eksistensial: bahwa hidup tidak selalu harus rapi, tidak selalu harus patuh, tetapi selalu harus dipikirkan.
Filsafat mengajak kita untuk berani jujur pada diri sendiri, pada realitas, dan pada absurditas kehidupan. Maka wajar bila filsafat lebih jujur daripada ceramah pagi. Sebab ia tidak menipu dengan janji kosong, tidak menakut-nakuti dengan hukuman gaib, melainkan mengajak manusia berdamai dengan hidupnya—sambil menyeruput kopi dan menghisap rokok, dalam keheningan yang penuh makna.
Referensi:
Jampes, Syekh Ihsan. Irsyadu Al-Ikhawan li Bayani Syurbi Al-Qahwati Wa Ad-Dukhoni. Kediri, Jawa Timur, Indonesia, n.d. (Kitab yang membahas hukum dan filosofis kopi dan rokok dalam Islam).
Nugroho, Muhamad Yusuf Amin. “Mitos Kopi Teman Setia Rokok dalam Perspektif Teologis Islam Nusantara: Harmonisasi yang Diperdebatkan.” Al-Mikraj 8, no. 2 (2024). https://doi.org/10.61433/alnadhair.v3i02.96.
Muhammad Aswin. “Berkata Jujur adalah Tindakan Revolusioner.” Profesi Online, June 24, 2025. https://profesi-unm.com/berkata-jujur-adalah-tindakan-revolusioner/.
Sugiarso. “Gus Umar Fayumi Pati, Laras Jagat dan Filosofi Rokok Tingwenya.” NU Online, September 6, 2023. https://www.nu.or.id/obituari/gus-umar-fayumi-pati-laras-jagat-dan-filosofi-rokok-tingwenya-Yd5qd.
Svendsen, Lars. Filsafat Kebohongan. Translated edition, 2025. Penerbit Baca, Tangerang Selatan.