Di masa kecil, cerita adalah jendela pertama untuk memahami dunia. Lewat dongeng sebelum tidur, petuah kakek-nenek, hingga legenda-legenda yang dibacakan guru di kelas, anak-anak diajak mengenal kebaikan, keberanian, kejujuran, dan cinta kepada sesama. Cerita bukan sekadar hiburan, tapi juga cara bangsa ini menyampaikan nilai-nilai luhur secara halus dan membekas, turun temurun.
Namun, di era digital yang penuh visual dan konten cepat, tradisi mendengar mulai kehilangan tempatnya. Cerita-cerita lama kalah bersaing dengan video viral dan konten instan. Anak-anak kini tumbuh tanpa mengenal Malin Kundang, Jaka Tarub, atau Ande-Ande Lumut. Lebih jauh lagi, mereka kehilangan satu warisan besar bangsa ini: tutur tinular, tradisi menyampaikan ilmu dan nilai lewat lisan dari generasi ke generasi.

Tutur Tinular berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa: tutur yang berarti “ucapan” atau “cerita”, dan tinular yang berarti “diteruskan” atau “diwariskan”. Secara harfiah, tutur tinular berarti ucapan atau cerita yang diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi ini telah menjadi bagian dari peradaban Nusantara jauh sebelum aksara dikenal secara luas.
Ketika pendidikan karakter menjadi kebutuhan mendesak di tengah gempuran modernitas, kita perlu menoleh ke belakang—kepada warisan budaya lisan yang dulu menjadi media utama dalam membentuk manusia beradab dan berempati.
Di era yang didominasi oleh gawai, kecepatan informasi, dan media sosial, kita menyaksikan perubahan drastis dalam cara anak-anak belajar dan menyerap nilai. Waktu mendengar cerita sebelum tidur kini digantikan oleh video pendek. Satu warisan penting mulai tergerus: tradisi lisan sebagai alat pendidikan karakter.
Sayangnya, dalam sistem pendidikan sekarang, cerita rakyat dan narasi lokal hanya menjadi pelengkap—kalau tidak dibilang dilupakan sama sekali. Padahal, di balik setiap kisah rakyat, tersembunyi pelajaran tentang kemanusiaan, kepemimpinan, kerja sama, dan cinta pada lingkungan.
Tanpa kita sadari, ketika tradisi lisan ditinggalkan, kita juga kehilangan cara mendidik yang menyentuh hati. Sekolah menjadi tempat hafalan, bukan tempat pembentukan watak. Anak-anak tahu teori, tapi tidak belajar makna. Maka, menghidupkan kembali tutur tinular bukan semata-mata soal budaya, tapi soal masa depan pendidikan karakter bangsa.