Kepulauan Nusantara tak henti-henti melahirkan mutiara yang kilaunya benderang menyinari dunia keislaman. Salah satu mutiara Nusantara itu muncul dari tanah Minangkabau, beliau bernama Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Ulama legendaris yang tetap harum semerbak karena kiprahnya dalam menyebarkan agama Islam.
Berbekal semangat dan usahanya dalam belajar, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi menjadi pribadi yang gemilang. Ia meraih prestasi dalam kancah keilmuan. Kealimannya mendapat sorotan dari masyayikh Mekkah. Syekh Ainur Rafiq, penguasa Haramain, menugaskan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi untuk mengajar di serambi Masjidil Haram, tepatnya di Bab Az-Ziyadah.
Saat itulah, ia menyandang gelar “syekh” dan banyak thullab berdatangan dari berbagai penjuru dunia untuk menghadiri halaqah-nya. Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi bukan hanya diangkat menjadi pengajar, melainkan juga dinobatkan sebagai imam dan khatib di Masjidil Haram, sekaligus mufti Mazhab Syafi’iyah.
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi menikah dengan Khadijah, putri dari Syekh Muhammad Saleh Al-Kurdi, saudagar kaya dan terpandang di Mekkah. Syekh Muhammad Saleh Al-Kurdi mengagumi Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan memintanya untuk menjadi menantu, sebab ia merupakan seorang yang sangat cerdas, salih dan berperangai baik.
Mulanya, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi sungkan menerima tawaran tersebut, sebab ia merasa kekayaan Syekh Muhammad Saleh Al-Kurdi jauh berada di atas Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Ia juga menyampaikan bahwa dirinya tidak punya biaya untuk menikah.
Menanggapi alasan itu, Syekh Muhammad Saleh Al-Kurdi dengan tegas mengungkap kesiapannya menanggung semua biaya pernikahan. Syekh Muhammad Saleh Al-Kurdi langsung memberinya uang 1.000 rial, dengan rincian: 500 rial untuk mahar, sedangkan 500 rial lainnya untuk membeli rumah. Lalu akad nikah antara Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dengan Khadijah, putri Syekh Muhammad Saleh Al-Kurdi, digelar pada tanggal 22 Agustus 1879 M atau 12 Rabiul Awal 1296 H. Dari pernikahan itu, ia dikaruniai dua putra, bernama Abdullah dan Abdul Karim.
Saat usia pernikahannya memasuki tahun kelima, duka mendalam menyelimuti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, karena istri tercintanya, Khadijah, meninggal dunia sehabis melahirkan. Syekh Muhammad Saleh Al-Kurdi terus mencari cara agar menantunya tetap menjadi bagian dari keluarga besarnya. Maka, ia menawarkan kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi untuk menikah dengan Fatimah, putri kedua Syekh Muhammad Saleh Al-Kurdi. Dengan hati semringah, diterimalah tawaran tersebut. Kemudian menggelar akad nikah pada tahun 1884 M atau 1301 H. Keduanya lantas dikaruniai dua putra, yaitu Abdul Malik dan Abdul Hamid.
Silsilah Nasab
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi lahir di Desa Koto Tuo, Kecamatan Ampek Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Karena berasal dari Minangkabau, nama Al-Minangkabawi disematkan di belakang namanya. Ia lahir pada hari Senin, tanggal 25 Juni 1860 M atau 6 Dzulhijjah 1276 H.
Tepat pada hari Senin, 13 Maret 1916 M atau 9 Jumadil Awal 1334 H, pukul sembilan malam waktu setempat, usai azan Isya, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi berpulang ke haribaan Allah. Ia dimakamkan di Syu’bah An-Nur (Bukti An-Nur).
Nasab Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dari ayahnya ialah Ahmad Khatib bin Syekh Abdul Lathif bin Abdullah bin Abdul Aziz Al-Minangkabawi. Ayah dan kakeknya merupakan ulama Minangkabau. Syekh Abdul Lathif adalah saudara dari Muhammad Salim yang merupakan ayah dari pahlawan nasional, bernama Haji Agus Salim.
Sedangkan, jalur nasab dari ibunya ialah Ahmad Khatib bin Limbak Urai binti Tuanku Nan Rancak (dengan istrinya Zainab). Tuanku Nan Rancak ini adalah ulama Kaum Padri yang disegani. Dari pihak ibunya ini, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi berkerabat dengan Syekh Taher Jalaluddin, seorang ulama falak yang menetap dan meninggal di Malaysia.
Perjalanan Mencari Ilmu
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi memperoleh pendidikan pertamanya langsung dari ayahnya, yakni Syekh Abdul Lathif. Ia diajari membaca Al-Quran dan dasar-dasar ilmu keislaman, seperti tauhid, hadis, fikih, bahasa Arab, nahu, saraf, dan tajwid. Ayahnya selalu menekankan agar Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi menghafal Al-Quran, sebab dengan menghafal Al-Quran, mudah menggali syariat Islam.
Selain itu, ia juga mengenyam pendidikan formal di Kweekschool di Fort de Kock, Bukittinggi, yang didirikan oleh Belanda. Di sana, ia belajar matematika, geografi, bahasa asing, dan pengetahuan umum lainnya. Setelah tamat, pada tahun 1871, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi diajak ayah dan pamannya untuk beribadah haji ke Makkah.
Usai melaksanakan ibadah haji, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan ayahnya tidak langsung pulang ke Indonesia. Mereka berdua menetap di Mekkah selama empat tahun, yaitu sejak tahun 1871 sampai tahun 1875. Kesempatan itu, digunakan oleh Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi untuk belajar kepada para ulama di Mekkah.
Awalnya, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi bersama Sulaiman, putra Syekh Ahmad Al-Khalidi, belajar menghafal Al-Quran kepada Syekh Abdul Hadi di maktabnya. Kemudian, ia belajar ilmu fikih, ilmu tafsir, ilmu tauhid, dan ilmu nahu kepada ahlu syatha, yaitu Syekh Utsman Syatha, Syekh Umar Syatha, dan Syekh Abu Bakar Syatha. Ia juga belajar kepada ulama-ulama lainnya, seperti Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Nawawi Al-Bantani, dan masyayikh lain.
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dengan cepat menguasai ilmu yang dipelajarinya. Penguasaannya terhadap kitab-kitab yang dipelajari adalah bukti karamah dari mimpinya bertemu dengan Rasulullah. Ahmad Fauzi Ilyas dalam tulisannya, Syekh Ahmad Khatib Minangkabau dan Polemik Tarekat Naqsyabandiyah di Nusantara, menceritakan bahwa konon Rasulullah menyuruh Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi membuka mulut untuk beliau ludahi. Sejak itu, kitab yang ditelaahnya lebih cepat dan mudah ia kuasai.
Murid dan Karyanya
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi mempunyai banyak murid, di antaranya: H. Abdul Karim Amrullah Padang Panjang (ayah Buya Hamka), Syekh Mahmud Al-Fadani, Syekh Muhammad Isa Al-Fadani, Syekh Abdul Wasi’ Al-Yamani, Syekh Muhammad Jamil Jambek Bukittinggi, Syekh Muhammad Thayib Umar Tanah Datar, Syekh Muhammad Jamil Jaho, Syekh Taher Jalaluddin (ulama besar Malaysia), Syekh Musthafa Husein Purba Baru (Sumatera Utara), Syekh Hasan Maksum Medan, Kiai Ahmad Dahlan Yogyakarta (pendiri Muhammadiyah), Kiai Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama), Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Bisri Syansuri, Haji Agus Salim, Kiai Mas Mansur, dan beberapa murid lainnya.
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi juga terkenal sebagai ulama yang sangat produktif menulis kitab untuk menjawab persoalan-persoalan masyarakat. Setidaknya, ada 49 (ada pula yang berpendapat 45) buku dalam bahasa Arab atau Melayu yang ditulisnya. Di antaranya adalah kitab Hasyiyatu an-Nafahat ‘ala Syarah al-Waraqat, Ad-Da’i al-Masmu’ ‘ala Man Yuwarritsu al-Ikhwah wa Auladi al-Ikhwan, Ar-Riyadha al-Wardiyyah fi Ushul at-Tauhidiyah wa al-Furu’i al-Fiqhiyyah, Al-Minhaj al-Masyru’ fi Mawarits, Itsbat az-Zain li Shulhu al-Jama’atain bi Jawazi Ta’addudi al-Jum’atain, An-Nukbah al-Bahiyyah, Al-Qaulu al-Mufid Syarhu al-Mathla’ as-Sa’id, Fathu al-Kabir fi Basmalati at-Tafsir, Ad-Durrah al-Bahiyyah fi ‘Ada’i Zakati, Hillul ‘Uqdah fi Tashhih al-‘Ummah, Raudhatu al-Hussab, ‘Alamu al-Hussab fi ‘Ilmi al-Hisab, Fatawa al-Khatib, Irsyadu al-Hayara fi Izalati Syubahi an-Nashara, Fathu al-Mubin Liman Salaka Thariqah al-Washilin, Al-Hawi an-Nahw, Mukhtashar an-Nahw, dan kitab-kitab lainnya yang berkenaan dengan kebahasaan, sosial-politik, tarekat, ilmu falak dan eksakta, fiqh, dan sebagainya.
Keteladanannya
Sebelum Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi berpulang ke haribaan Allah, sebagian muridnya memohon kepada sang guru agar sudi menuliskan autobiografinya untuk dijadikan teladan bagi mereka dan generasi berikutnya. Lalu, menulislah ia kitab Al-Qaulu at-Tahifu fi Tarjamati Tarikhi al-Hayati asy-Syaikh Ahmad Khatib bin Abdul Lathif Al-Minangkabawi Al-Jawi (perkataan ringkas terhadap riwayat hidup Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Lathif Al-Minangkabawi Al-Jawi).
Di dalam kitab tersebut berisi autobiografi, nasihat-nasihat atau petuah-petuah untuk anak-anaknya, para muridnya, dan untuk umat muslim keseluruhan. Sebagian isi kitab itu tertuang nasihat, “Dengan ilmu akan lahir akhlak imaniyah dan akan terhindar dari perbuatan syaithaniyah, serta jauh dari tabiat kebinatangan. Pada akhirnya, (dengan ilmu) kehidupan akan menjad bersih dan meningkat pada keadaan yang sempurna.”
Dari nasihat tersebut, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi ingin menyampaikan bahwa ilmu itu mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan, yang pada akhirnya hidup seseorang bisa menjadi mulia dan semakin dekat kepada Allah. Dengan kata lain, sebab ilmu, akal akan mengarahkan kita untuk cenderung pada perkara yang baik dan meninggalkan perkara yang buruk. Dengan ilmu, kita menjadi tahu mana bisikan imaniyah dan godaan sifat-sifat kebinatangan. Jadi, jika kita menempuh jalan kemuliaan ilmu, maka tentu kita akan mengikuti kehendak yang baik.
Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi juga berkata, “Ilmu tidak akan berkembang kecuali dengan belajar dan mengajarkannya. Termasuk suatu kebodohan besar jika orang melalaikan ilmu.” Terkait hal tersebut, tugas belajar-mengajar adalah tugas semua insan. Setiap orang punya hak untuk belajar. Maka dari itu, jangan mempersulit orang yang ingin mendapatkan pelajaran.
Dalam kitabnya itu, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi mengutip syair, “Ilmu bagaikan binatang buruan, sementara menulis adalah tali pengikatnya. Ikatlah binatang dengan tali yang kuat. Sebab, termasuk kebodohan bagimu yang menangkap buruan, kemudian kamu membiarkannya lepas bersama binatang lain.”
Menulis merupakan aktivitas yang tidak bisa lepas dari ulama. Sejatinya, mereka mengabadikan pengetahuannya dengan menulis. Jadi, meskipun mereka wafat, tulisan (karya) mereka itulah yang akan menjadikan mereka seakan hidup abadi. Hal ini, senada dengan perkataan Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tetapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Dan masih banyak lagi keteladanan yang telah dicontohkan oleh Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, seperti gemar berdiskusi, suka membaca, suka belajar otodidak, produktif berkarya, guru yang interaktif dengan murid, sumbangsih terhadap pembaruan Islam di Indonesia, dan seterusnya.
Demikianlah sejarah kehidupan, proses mencari ilmu, kiprah, dan keteladanan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang perlu kita hayati dan ikuti, sehingga memotivasi kita untuk menjadi santri pelopor perubahan, baik dalam lingkup keagamaan maupun pendidikan.