Di bawah langit biru cerah yang membentang di atas Desa Krejengan, Probolinggo, seorang anak muda bernama Mamad duduk di tepi sawah sambil menghirup dalam-dalam aroma khas bunga melati. Desa ini terkenal dengan melati dan hasil pertaniannya, yang menjadi ciri khasnya sejak dulu. Mamad, anak seorang petani melati, sering mendengar cerita dari kakeknya tentang bagaimana bunga-bunga itu menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
“Melati ini bukan sekadar bunga,” ujar kakek Mamad suatu sore. “Ia melambangkan kerja keras, ketulusan, dan kebersamaan orang-orang di desa ini.”
Namun, Mamad tidak pernah benar-benar memahami apa yang dimaksud oleh kakeknya. Baginya, melati hanya sekadar tanaman yang tumbuh di halaman rumah dan ladang. Hingga suatu hari, desa mereka menghadapi tantangan besar. Harga melati anjlok di pasar, membuat banyak petani mulai meninggalkan ladang mereka untuk mencari pekerjaan lain di kota.
Mamad merasa prihatin melihat ayahnya yang tetap bertahan menanam melati, meski penghasilannya nyaris tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia pun memutuskan untuk bertanya kepada kakeknya, yang selalu bijak dalam memberi nasihat.
“Kek, kenapa kita harus terus menanam melati kalau itu tidak lagi menguntungkan?” tanya Mamad suatu malam.
Kakeknya tersenyum tipis sambil menyulut rokok lintingan. “Mamad, hidup itu bukan cuma soal uang. Melati ini adalah identitas kita. Setiap bunga yang mekar adalah hasil dari doa, keringat, dan harapan. Kalau kita menyerah, apa yang akan kita tinggalkan untuk anak cucu nanti?”
Perkataan itu menggugah hati Mamad. Ia mulai memikirkan cara agar melati desa mereka kembali dihargai. Setelah beberapa hari berpikir, ia menemukan ide untuk membuat produk olahan melati, seperti minyak atsiri dan teh melati, yang dapat dijual ke pasar yang lebih luas.
Dengan dukungan keluarga dan warga desa, Mamad memimpin untuk mengolah hasil melati mereka. Mereka bekerja sama, saling berbagi ilmu, dan mencari pasar baru. Dalam beberapa bulan, usaha mereka mulai membuahkan hasil. Produk-produk berbasis melati dari Krejengan mulai dikenal hingga ke kota-kota besar.
Aroma melati, yang dulu hanya dikenal sebagai bagian dari desa kecil itu, kini menjadi lambang ketekunan dan kreativitas. Mamad menyadari bahwa kakeknya benar—melati bukan sekadar bunga. Ia adalah warisan yang harus dijaga dan dihormati.
Pada suatu sore, Mamad duduk kembali di tepi sawah, kali ini dengan senyum bangga. Ia melihat ladang-ladang melati yang kembali hidup, menggeliat dengan harapan baru.
“Kakek benar,” bisik Mamad pelan. “Melati ini adalah hati desa kita.”
Dan di bawah langit Krejengan yang semakin senja, aroma melati terus mengalir, menghubungkan masa lalu, sekarang, dan masa depan desa itu.
Depok, November 2024.
*Cerpen ini merupakan salah satu dari hasil Kelas Jurnalisme dan Sinematografi Santri Kelompok Penulisan Kreatif yang diselenggarakan jejaring duniasantri di Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Depok sepanjang bulan November 2024.