Di sudut-sudut kota ini terdapat banyak surau, pondok pesantren, dan makam yang tak pernah sepi oleh para peziarah. Di kota ini pula, seseorang akan mudah menangkap sayup-sayup lantunan tahlil dan pengajian. Tampaknya kota ini menjadi titik bernas untuk orang-orang yang ingin mendalami ilmu agama. Sebab, santri-santri dengan kitab yang dijinjing berlalu-lalang di mana-mana.
Kang Muh adalah salah satu penduduk kota itu. Ia lelaki tua yang selalu didatangi tamu setiap waktu, tapi bukan kiai atau pejabat. Jangankan santri, istri saja Kang Muh tak punya. Tamunya pun datang tidak meminta untuk disuwuk atau diberi nasihat, melainkan untuk dilayani. Ya, benar. Ia adalah pemilik warung yang sudah puluhan tahun berdiri. Wajar saja, jika banyak orang mengenal Kang Muh dengan baik, walaupun ia tak pernah memberikan petuah bijak.
Seperti hari-hari biasanya, warung Kang Muh tak pernah sepi dari para pengunjung. Biasanya di pagi hari waktunya bapak-bapak yang memadati warung Kang Muh. Mereka datang untuk mengisi perutnya sebelum berangkat bekerja atau melakukan aktivitas lain. Mereka juga menikmati hidangan dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang sambil membaca koran, ngobrol politik, menggunjing, atau curhat masalah pekerjaan dan rumah tangga.
Lantas, di malam hari gilirannya para santri yang berdatangan. Ada yang datang untuk menghafal nadhoman, main catur, nonton bola, atau sekadar mojok menikmati sepi. Santri yang datang malam hari tentu adalah santri-santri yang sengaja kabur dari asrama, mulai dari yang terang-terangan dengan beragam alasan, sampai yang dengan umpet-umpetan memanjat pagar belakang pondok pesantren.
***
Wedang ronde, kopi lelet, dan mendoan adalah menu favorit di warung Kang Muh. Namun, wedang rondenya hanya bisa ditemui selepas maghrib saja, dan bisa dipastikan sebelum jam 9 malam sudah ludes terjual. Pembeli berdatangan dan menikmati pesanan silih berganti. Seakan sudah menjadi rutinitas bapak-bapak atau santri-santri di kota itu. Seting warung yang sederhana telah merekam jelas segala aktivitas penduduk selama berpuluh-puluh tahun.
Pak Asep dan Pak Qomar, misalnya. Setiap pagi selalu menghabiskan waktu di warung Kang Muh untuk menggunjing kiai ini dan itu. Semuanya tak luput dari pembahasan berjam-jam, sesuai jatah gilirannya masing-masing. Seperti kajian tokoh dalam kuliah filsafat, selama belum bagiannya, pembahasan akan terus berlanjut sampai ke akar-akarnya. Pernah suatu ketika mereka berdua menjelek-jelekkan salah seorang kiai muda di kota ini.
“Mar, saya lihat-lihat di langgar Gus As’ad jamaah pengajiannya makin hari makin ramai saja, ya. Pantas kalau dia makin sombong. Saya jamin, nggak bakal mau menyapa orang seperti kita,” ucap Pak Asep sambil mengoleskan rokoknya dengan endapan kopi lelet.
“Halah, kamu ini kaya nggak tahu saja kelakuan dia,” balas Pak Qomar yang terlihat jengkel. Kumisnya yang panjang dan tipis seperti Salvador Dali kembali bergerak. Ia melanjutkan curhatannya, “Saya ini kemarin dimarahin habis-habisan sama dia. Cuma gara-gara ngebut sedikit di depan pondok, dan hampir menabrak kandang kambing peliharaannya. Padahal, toh, saya juga nggak ada niatan buat begitu.”
“Heran. Kok bisa, ya, orang-orang pada mau ngaji di situ?”
“Saya juga nggak habis pikir, Sep,” sahut Pak Qomar sembari menekan-nekan pecinya.
Sambil mengingat-ingat sesuatu, akhirnya Pak Asep bercerita, “Beda banget sama bapaknya. Dulu, Kiai Zamzami kalau berpapasan dengan saya malah dia yang berhenti. Pernah saya membungkuk dan menunduk sekadar untuk menghormatinya. Eh, malah justru saya yang disamperin. Tahu tidak? Kiai Zamzami menyuruh saya agar biasa saja. Padahal waktu itu saya masih muda, dan Kiai Zamzami sudah punya ribuan santri.”
“Ngawur! Tentu jelas beda, Sep. Kiai Zamzami itu suaranya lembut penuh kasih sayang. Perangainya juga adem dan menggugah hati bagi siapa saja orang yang melihat. Lah, kalau lihat dia…” Pak Qomar melirik dengan muka ketus.
“Bikin mengkal di hati! Ha-ha-ha…” pangkas Pak Asep dengan suara mengejek yang akhirnya membuat keduanya sama-sama tertawa.
“Hussssst, jangan begitu. Nggak baik,” sahut Kang Muh yang suaranya tidak dihiraukan oleh mereka.
Begitulah keadaan warung Kang Muh, setiap hari ada saja obrolan atau desas-desus yang tidak berguna. Namun, bagaimana pun keaadaannya, Kang Muh tetap melayani dengan sepenuh hati. Bahkan sekali pun ada bebotoh desa yang datang ke warungnya hanya untuk taruhan judi kiu-kiu dengan kartu domino. Mereka akan tetap mendapatkan senyuman hangat dari Kang Muh, tanpa dibeda-bedakan.
Bukan hanya itu, siapa pun yang datang ke warungnya akan mendapatkan harga yang sangat murah meriah. Jika dipikir-pikir pendapatannya saja belum tentu cukup untuk mengembalikan uang belanja. Sebab, harga yang dibandrol bisa dua kali lipat lebih murah dari warung-warung lainnya. Kang Muh barangkali memang tidak ada niatan untuk berdagang, melainkan sedekah. Ilmu yang dipakai bukan hitung-hitungan ala Adam Smith, tapi matematika Tuhan. Barangkali.
***
Hingga pada akhirnya ada sebuah kabar yang menggegerkan. Kang Muh mati. Tapi, yang lebih membuat warga geger adalah kabar yang menyebutkan bahwa Kang Muh sebenarnya merupakan seorang waliyullah yang sedang menyamar. Ia adalah wali mastur yang ditugaskan untuk menjaga wilayah itu. Kabar tersebut datang dari salah seorang ulama karismatik di negeri sebrang. Orang yang terkenal kewaliannya itu membocorkan kewalian Kang Muh di depan jemaahnya.
Pada akhirnya kabar yang datang secepat kilat itu sampai di kota Kang Muh. Lantas, seluruh warga berduyun-duyun ke masjid untuk ikut menyalatkan jenazahnya. Keadaan semakin masygul ketika orang-orang dari luar kota mulai berdatangan, termasuk ulama karismatik yang membocorkan kewalian Kang Muh itu. Ia jauh-jauh datang dari negeri sebrang hanya ingin bertakziah.
Sebelum salat dimulai, salah seorang kiai sepuh di kota itu mempersilakan kepada ulama karismatik itu untuk memimpin prosesi salat jenazah. Namun, ia menolak dan menyampaikan pesan yang dititipkan Kang Muh kepadanya. Tampaknya Kang Muh pernah berpesan jika di hari kematiannya, ia ingin salat dan doa untuk jenazahnya dipimpin oleh Gus As’ad. Tentu saja Kang Muh yang lebih tahu apa alasannya.
Hari itu langit mendung menyerupai lukisan yang murung. Sinar matahari seakan malu menampakkan keelokannya. Sedangkan di bawahnya, lautan manusia berebut ingin membopong keranda Kang Muh. Orang-orang rela berdesak-desakan, tak peduli terinjak-injak atau sulit bernapas. Terdengar suara-suara parau, juga terlihat mata-mata sayu pada setiap wajah yang ditinggalnya. Tidak sedikit yang memangis sampai terdengar sesenggukan. Kesedihannya membingkas pada roman muka yang tidak menentu.
Alam dan umat manusia ikut berduka. Kini semua orang merasa kehilangan. Namun, yang paling terpukul adalah orang-orang yang setiap harinya menghabiskan banyak waktu di warung Kang Muh. Sebab, mereka tak pernah menduga bahwa Kang Muh adalah seorang yang istimewa di hadapan Tuhan.
sumber ilustrasi: banua.