Setelah saya lulus dari Madrasah Aliyah (MA) I Annuqayah, tiba saatnya berpamitan kepada para masyayikh. Salah satu masyayikh yang saya pamiti adalah KH Amir Ilyas. Pada saat itu, Beliau adalah kiai sepuh yang ada di Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk, Sumenep, Madura.
Saat berpamitan, saya ditemani oleh ayah dan paman saya. Sejenak kami berbincang apa adanya, sebagai nilai tali silaturrahmi dan kekeluargaan. Saat itulah saya mator (mengungkapkan) suatu hal kepada Beliau terkait dengan pengajaran. Saya memberitahukan bahwa di rumah kegiatan saya adalah mengajar. Madrasah tersebut dikelola oleh paman saya sendiri.
“Saya mohon nasihat terkait kegiatan belajar mengajar,” begitu tutur saya kepada Beliau. Kemudian, KH Amir Ilyas memberikan nasihat kepada saya.
“Ba’na ta’ olle dhak-gendhak ka moretta, ban kodhu sabbar,” (Kamu jangan suka marah kepada muridmu dan harus bersikap sabar). Demikian petuah dari KH Amir Ilayas (alm) terkait dengan proses belajar mengajar.
Ada dua hal yang disampaikan Beliau kepada saya. Pertama, kita tidak boleh jadi pemarah kepada para siswa. Gendhak, dalam bahasa Madura, artinya sering marah. Tentu hal ini mengacu kepada kaidah syari bahwa dalam menghadapi murid harus disertai dengan ketelatenan.
Saya jadi teringat dengan kisah ulama besar, Rabi bin Sulaiman al-Muradi, yang merupakan murid dari Imam Syafii. Di dalam kisah Rabi bin Sulaiman ini dijelaskan bahwa Beliau termasuk murid yang sangat lamban dalam mencerna suatu materi. Bahkan, Imam Syafii sampai harus mengulang sebanyak 40 kali untuk sebuah pembahasan.
Meski demikian, Rabi bin Sulaiman tidak patah semangat. Atas petunjuk Imam Syafii, Beliau selalu memohon kepada Allah agar diberikan hidayah ilmu pengetahuan. Akhirnya, Rabi bin Sulaiman yang sangat dicintai oleh Imam Syafii karena pelayanan terhadapnya dan juga semangat tidak putus asa, menjadi ulama besar dan perawi hadis yang sangat kredibel (dipercaya). Demikian itu harus menjadi teladan atas kesabaran Imam Syafii dalam menghadapi murid yang kurang peka.