Yang Lucu dari Nahu

9,993 views

Pada saat saya masih aktif belajar di Pondok Pesantren Annuqayah, seringkali mendapatkan konten kalimat yang mengandung nilai pemahaman lebih (baca: lucu, menggelikan, rancak, humoris, dll) dalam kaidah bahasa Arab (nahu dan saraf). Selain untuk menambah pemahaman terhadap disiplin ilmu ini, hal ini juga menjadi “media refreshing” agar tidak terlalu jenuh dalam mempelajarinya. Frasa maupun kalimat nyeleneh, aneh, dan bisa juga menimbulkan humor dan memorian.

Salah satu kalimat yang mengandung nilai keanehan adalah sebagaimana berikut ini.

Advertisements

من توضأ ببول الكلب صح وضوءه

Jika dimaknai secara harfiyah, arti kalimat tersebut adalah “barang siapa yang berwudhu dengan kencingnya anjing, maka sahlah wudhunya.”

Padahal, dalam makna yang sebenarnya, bahwa orang yang telah berwudhu (menggunakan air suci sebagaimana biasa) kemudian menjumpai kencing anjing, maka wudhu orang tersebut tetap sah atau tidak batal. Tentu saja, toh hanya berjumpa dengan kencing anjing saja, hal itu tidak akan merusak wudhu seseorang. Karena hal-hal yang membatalkan wudhu, sudah dijelaskan di banyak kitab fikih, tidak ada yang menyatakan batal hanya karena melihat atau berjumpa dengan kencing anjing.

Jadi, dengan ungkapan kalimat tersebut, kita diajak untuk lebih jauh berpikir ketika menjumpai sebuah kalimat yang tidak pada biasanya. Karena bisa sangat mungkin, apa yang dikehendaki oleh orang Arab (penuturnya), tidak sama dengan wujud harfiah yang orang lain baca (orang selain Arab). Membaca lebih banyak kalimat-kalimat Arab akan lebih banyak memberikan wahana pemahaman yang selaras dan sesuai dengan apa yang diinginkan.

من قال فى المسجد بطل وضوءه

Jika dimaknai apa adanya, kalimat di atas akan berarti “barang siapa yang bercakap-cakap di masjid, maka wudhunya batal.” Berbicara atau bercakap-cakap bukan bagian dari hal-hal yang membatalkan wudhu. Oleh karena itu, tentu ini harus ditelaah lebih jauh agar tidak terjadi pertentangan dengan syariat. Berbicara di mana saja, hukumnya adalah jaiz atau boleh, tidak sampai membatalkan wudhu.

Pokok pembeda sebenarnya pada kata قال, yang sudah lazim bermakna “berkata.” Akan tetapi, kata قال tidak semata berarti berkata, tetapi juga bermakna “tidur sejenak,” dengan masdar قولولة. Sedangkan, قال yang bermakna “berkata” bentuk masdarnya adalah قولا.

Jadi, sudah jelas bahwa untuk memaknai sebuah kalimat bahasa Arab harus lebih berhati-hati agar sesuai dengan maksud atau tujuan dari kalimat Arab itu sendiri. Maksud kalimat tersebut adalah bahwa orang yang tidur sejenak di masjid, maka wudhunya batal. Tentu saja bukan karena tidur dalam keadaan duduk, yang dalam pembahasan fikih, tidak sampai membatalkan wudhu.

Lebih jauh, dalam bahasan nahu saraf, terutama di pesantren ada beberapa kalimat Arab yang cenderung humoris. Selain sebagai bagian dari teknis pembelajaran, juga dimaksudkan untuk lebih bergairah dalam mendalami aspek keilmuan ini.

من من من من من الله من منه منا

Kalimat tersebut bagi kalangan bukan pesantren akan menjadi sangat absurd. Tetapi, bagi kita, kalangan santri, sudah sangat familiar dan belajar banyak dari kalimat tersebut dalam struktur bahasa Arab. Jika dibaca benar, maka kalimat tersebut berbunyi, “man manna min munnin mannallahu min munnihi munnan,” (barang siapa yang memberi bantuan dengan satu bantuan, maka Allah akan memberi bantuan dari bantuan itu dengan satu bantuan). Atau kalau diterjemah secara bebas, “Allah akan memberi batuan kepada orang yang membantu orang lain.”

رجل رجل رجل رجل

Alternatif makna dari kalimat tersebut adalah “kaki kaki kaki kaki,” yang tidak mempunyai makna sama sekali. Atau “laki-laki laki-laki laki-laki laki-laki,” juga tidak akan dipahami oleh siapa pun.

Tetapi, bagi seorang santri yang sudah memahami kaidah bahasa Arab (nahu saraf), kalimat tersebut akan diterjemahkan, “seorang laki-laki menginjak kaki orang laki-laki (lainnya).”

Kok bisa? Ya bisalah karena seorang santri sudah (seharusnya) kenyang dengan istilah-istilah nyeleneh dalam ilmu nahu dan saraf.

Itulah beberapa kalimat Arab yang seringkali dibahas dalam ilmu nahu saraf. Tentu saja masih banyak kalimat-kalimat lainnya yang mengandung kerancakan dan menjadikan kita lebih bergairah dalam mempelajarinya. Tidak berlebihan kiranya, kalau kalimat-kalimat tersebut juga berdampak kuat dalam ingatan kita untuk memahami ilmu nahu sebagai pokok keilmuan dalam memahami kaidah bahasa Arab.

Selebihnya, kita akan semakin paham ketika merasa tidak tahu apa-apa terhadap ilmu ini. Sebab merasa sudah menguasai terhadap ilmu apa saja, hakikatnya adalah belum paham apa-apa. Semoga tulisan ini menambah gairah dalam mencari ilmu pengatahuan secara umum, ilmu kaidah bahasa Arab secara khusus. Wallahu A’lam! 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan