Isu-isu tentang gender terus marak menjadi topik perdebatan hangat. Lahirnya kaum feminis atas budaya patriarki yang berkembang di masa klasik membuat para pejuang kesetaraan gender mulai menyuarakan gagasannya. Dari negara Mesir, misalnya, muncul seorang tokoh perempuan yang aktif dalam hal memperjuangkan kesetaraan gender tersebut. Ia bernama Zaynab al-Ghazālī.
Zaynab lahir di Desa Mayeet Yaisy, Mayeet Ghumar, daerah al-Daqiliyyah, Buhairah, Mesir. Ia lahir pada tanggal 2 Januari 1917 M. Ia memiliki nama lengkap Zaynab Muḥammad al-Ghazālī al-Jubaylī. Namun, ayahnya sering memanggilnya dengan panggilan Nusaybah (Nusaybah binti Ka’ab al-Maziniyyah al-Anṣāriyyah, sahabat Nabi yang terkenal dengan kegigihan dan keberaniannya saat ikut berjuang bersama Nabi dalam Perang Uhud).
Ayahnya yang bernama Muḥammad al-Ghazālī al-Jubaylī memiliki jalur nasab sampai kepada Khalifah ‘Umar ibn Khaṭṭāb Raḍiya Allāhu ‘Anhu. Sedangkan, dari jalur ibunya, nasab Zaynab sampai kepada Sayyidinā Ḥasan ibn ‘Alī Raḍiya Allāhu ‘Anhu.
Zaynab memulai berbagai studi keilmuannya di kampung kelahirannya dan ikut mengaji di al-Azhar. Meskipun, sempat mendapatkan larangan untuk mengikuti pengajian di al-Azhar oleh kakak pertamanya, Zaynab masih beruntung karena kakak keduanya yang bernama Ali masih mendukung kegiatan studinya. Bahkan ia diberikan beberapa buku karya ‘Aisyah al-Taymuri untuk dipelajari.
Ia juga diketahui masuk salah satu sekolah khusus perempuan ketika umurnya masih 12 tahun. Beberapa orang yang tercatat menjadi guru Zaynab dari al-Azhar diantaranya, Syaykh ‘Alī Maḥfūẓ, Syaykh Muḥammad Sulaymān al-Najjār, dan Syaykh al-Majīd al-Labbān. Berkat pengajian yang diikutinya, Zaynab berhasil menggabungkan dua sistem keilmuan, yakni modern dan tradisional berdasarkan talaqqī dari guru-guru tersebut.
Ilmu yang ia terima dari berbagai tempat itu mengantarkan Zaynab menjadi wanita yang cerdas dan aktif. Terbukti, ketika Zaynab sudah menjadi anggota Persatuan Wanita Mesir saat usianya masih remaja.