Islam dan konsep trilogi keislaman adalah bentuk nyata dari prinsip komprehensif agama (syamil). Selain perkara ilahiyah, Islam juga menempatkan kemanusiaan dalam sublim penghambaan yang arif sebagai wujud imani kepada Tuhan. Dimensi penghambaan yang dibangun oleh Islam tidak hanya terbatas pada prinsip ketuhanan (teosentris), melainkan juga terdapat menifestasi kemanusiaan (antroposentris).
Perhatian Islam ihwal kemanusiaan diproyeksikan melalui prinsip, ajaran, atau syariat-syariat keislaman. Hal ini menunjukkan, di balik ritus penghambaan yang disyariatkan dengan kewajiban-kewajiban, terdapat makna esetoris beragama yang apabila kita refleksikan dan transformasikan dapat mewujudkan keharmonisan, baik hubungannya dengan Tuhan maupun dengan sesama.
Demikian yang dimaksud adalah zakat fitrah dari sekian banyak syariat Islam. Ibadah yang disyariatkan menjelang hari raya Idul Fitri itu memiliki renungan filosofis dari sekadar doktrin praktis. Dimensi kewajiban yang dilekatkan pada zakat fitrah adalah kewajiban instrinsik yang bersifat moral-etis (Ibrahim, 2021).
Secara ontologis, bagaimana hakikat yang menyebabkan zakat fitrah lahir, sepintas menunjukkan dogma religius belaka, di mana sebanyak 82 kali ungkapan retoris yang dijumpai dalam Al-Quran, “aqimu al-shalata wa atu al-zakata” yang bersifat konsepsional-dogmatis. Sabda Nabi Saw yang menjabarkan secara praksis-argumentatif, riwayat Abu Bakar ash-Shiddiq untuk memerangi para pembangkang yang enggan menunaikan zakat, atau perintah Umar bin Khattab untuk membakar rumah orang Islam yang menolak perintah zakat, hingga pendapat kafir mengingkari rukun Islam ketiga itu oleh Syaikh Nawawi al-Bantani dalam al-Tsimar al-Yaniyah.
Begitu pula melihat zakat dalam perspektif epistimologis. Perintah zakat tentu akan berjibaku dengan teks-teks keagamaan sebagai sandarannya, baik Al-Quran atau as-sunnah yang semuanya bersifat praktis; bagaimana syariat zakat fitrah harus dilaksanakan. Misalnya, hukum membayar zakat, syarat-syarat tentang kewajiban seseorang membayar zakat (muzakki), kelayakan status orang yang menerimanya (mustahik), hingga jenis dan takaran benda yang wajib dizakati. Tidak ada sublim nilai di dalamnya. seorang muslim yang tidak bisa merefleksikan makna adiluhung di balik pensyariatan zakat fitrah akan terjerumus pada nihilisme beragama.
Berbeda ketika aspek aksiologi filosofis digali dari ritus zakat fitrah. Renungan esetoris keislaman sebagai agama yang sarat dengan nilai interpretatif akan menuai benang merahnya di sini. Zakat jika ditelisik secara komprehensif banyak memiliki rajutan historikal, teologis, humanistik, dan dialektika sosial distributif antara si mampu dan si kurang mampu.
Teologi zakat membangun kesadaran kolektif manusia ihwal entitas makhluk yang dalam kekuasaannya didapati status khalifah fil ardh. Manusia dilahirkan beriringan dengan tanggung jawab etis yang diembannya, bagaimana ia bisa menjadi wakil Tuhan yang mampu merepresentasikan sifat-sifat ilahiah di muka bumi (QS al-Baqarah: 30).
Oleh karena itu, Allah menyediakan itu dengan kemampuan berpikir, bertindak, dan ketersediaan fasilitas untuk mewujudkan misi penciptaan meliputi tatanan kosmologi, seperti oksigen, air, tumbuhan-tumbuhan (QS Qaf: 7-11), termasuk juga harta benda yang sejatinya adalah suatu titipan. Ketersediaan itu bersifat nisbi dan mutlak di tangan kekuasaan Allah. Oleh karena demikian harus ditaruh dalam kondisi kemanfaatan, yakni dikontribusikan untuk melaksanakan misi kemanusiaan di bumi (QS an-Nahl: 69).
Secara sosial-humanisitik, ritus zakat fitri menunjukkan solidaritas muslim yang diproyeksikan melalui semangat dalam mengentaskan kemiskinan umat (QS. al-Hujarat; 10). Dengan zakat, Islam telah membangun spirit sosial untuk mengentaskan masalah ketimpangan sosial akibat hierariki dan kualifikasi starata ekonomi dalam masayarakat, ‘ini miskin’ dan ‘itu kaya’. Hal ini juga menjadi batas-batas ekuilibrium yang proposional sehingga kekayaan bukan menjadi kalalaian seseorang beribadah, begitu pula kemiskinan tidak menjadi kondisi keterpurukan yang dapat menyebabkan manusia lupa kepada Tuhan.
Kemudian, zakat adalah bentuk dialektika distributif meteril antara si mampu dan si kurang mampu. Kita mengakui bahwa perbedaan, termasuk rezeki, adalah sunnatullah yang berada dalam kuasa Tuhan. Manusia dilahirkan dengan kondisi yang beragam dan tantangan ujian yang beragam pula. Barang tentu ini wujud mozaik kehidupan di mana kebersamaan dan saling melengkapi menjadi muara keindahannya.
Namun secara materialistik, kehidupan duniawi dan kepentingan manusia acap kali membentuk ketimpangan ekonomi dalam kehidupan umat. Kita menyadari dalam konstelasi percaturan ekonomi, semua bertarumg secara bebas. Ibarat kompetisi terbuka yang orientasinya adalah keuntungan. Yang namanya konstelasi ekonomi terbuka, ada pihak yang menang dan yang kalah. Belum lagi, struktur ekonomi dengan sistem -isme yang tidak mempertimbangkan asas-asas ekualitas dan utilitarianisme, sehingga bentuk piramid ekonomi membentuk ciri khas yang tidak berkesudahan (Anwar Abbas, 2021).
Di sinilah konsep zakat hadir. Dengan ritus tahunan secara berkala, zakat fitrah merupakan mediasi keadilan distributif. Meskipun kemiskinan adalah realitas sosial yang tidak dapat dihapuskan secara mutlak, tetapi dengan zakat, ada usaha-usaha represif agar kondisi sunnatullah itu tidak mengahancurkan sendi-sendi kemanusiaan dan kualitas penghambaan kepada Tuhan. Makanya, mustahik yang dimaksud hasil heurmeneutika kontemporer, yang masuk dalam kualifikasi al-mustadh’afin adalah bukan hanya mereka yang miskin alamiah, melainkan juga mereka yang menjadi korban struktural (QS adz-Dzariyat: 19, QS at-Taubah: 34-35).
Inilah sistem keagamaan yang banyak memberikan kontribusi sosial kepada sesama. Zakat adalah kesadaran ontis hamba, bahwa semua manusia derajatnya sama di depan Tuhan, yang membedakan adalah keimanan berikut ketakwaannya. Harta benda adalah fasilitas untuk memaksimalkan itu. oleh demikian, zakat fitrah adalah usaha fitr untuk kembali pada kondisi fitrah.
Mari menunaikan zakat fitrah. Wallahu a’lam.