Santri dan Ilmu Kanuragan

476 views

Pada tahun 1899 sampai 1999, kalangan santri masih akrab dengan ilmu kanuragan, semacam ilmu kesaktian, benteng diri, bahkan ilmu silat tanpa ajar (“Pencak Asma dan Hizb Darb”, Triani Widyanti, Jurnal Ilmu Sosial).

Namun pada dekade 2000-an, santri mulai enggan dengan ilmu semacam itu. Sebab, mereka menganggapnya sebagai ilmu yang tidak berguna. Padahal, kalau kita melihat sejarah kemerdekaan Indonesia, banyak ulama, tokoh pesantren, ikut berperang yang ikut berperang bermodal ilmu kesaktian.

Advertisements

Pada masa lalu, ilmu kanuragan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat Madura dan Jawa. Bahkan, ilmu kanuragan turut mewarnai nilai-nilai budaya dalam suatu kelompok masyarakat, baik masyarakat pedalaman maupun masyarakat pesisir pantai. Setiap keluarga bahkan mungkin setiap orang seolah-olah diwajibkan memiliki ilmu kanuragan. Hal ini terjadi antara masa pra-penjajahan, masa penjajahan, masa awal kemerdekaan, dan masa munculnya berbagai bentuk aksi pemberontakan.

Apa itu ilmu kanuragan? Kanuragan dalam bahasa Indonesia berarti ilmu yang memiliki fungsi alat menjaga, atau membela diri secara supranatural. Ilmu ini mencakup kemampuan diri untuk bertahan (kebal) terhadap berbagai ancaman dan bahaya dengan kemampuan yang luar biasa di luar nalar manusia (Triani Widyanti).

Sebenarnya, kanuragan sangat penting untuk membentengi diri dan membela Tanah Air. Saat Indonesia dijajah oleh Belanda dan Jepang (Heiho), para ulama pesantren juga berperan besar dalam perjuangan kemerdekaan. Konon, perlawanan yang mereka lakukan di luar nalar. Hanya dengan melemparkan kacang hijau, butir-butir berubah wujud menjadi pasukan perang. Atau, seperti banyak diceritakan dalam buku sejarah, mereka berperang hanya bermodal bambu runcing.

Peran santri dan tokoh-tokoh pesantren dalam perang melawan penjajah juga memiliki arti sangan penting ketika Belanda datang lagi dengan membonceng tentara Sekutu sambil mengultimatum agar pejuang Indonesia menyerah. Saat itulah, Nahdlatul Ulama mengeluarkan fatwa jihad pada tanggal 22 Oktober 1945.

Fatwa itu dikenal dengan resolusi jihad yang diinisiasi KH Hasyim Asyaari, yang mampu membakar semangat juang kaum muslimin. Berkobarnya semangat juang kaum muslimin waktu itu tiada lain karena atas perintah dari para ulama, dan santri dengan tradisi pesantrennya bersikap sam’an wa tha’atan lil ulama’ wa santri . Ucapan ulama merupakan senjata yang berharga bagi masyarakat waktu itu.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan