Setiap pesantren umumnya mempunyai cara tersendiri di dalam menanamkan nilai-nilai moral untuk para santrinya. Penanaman moral tersebut merupakan sebuah langkah konkret yang terus dilakukan oleh orang-orang pesantren supaya dengannya terlahir insan ideal yang dibanggakan.
Pesantren adalah lembaga pendidikan alternatif yang lebih menomorsatukan pembentukan karakter dan penguatan moral (tarbiyah) daripada sekadar mengedepankan kecerdasan intelektual (ta’lim) yang kerapkali tidak emansipatoris dan memanusiakan manusia, dengan mengesampingkan akhlak luhur (Ach. Dhafir Zuhri, 2018). Inilah yang membedakan pendidikan pesantren dengan di luar. Adalah akhlak menjadi inspirasi asasi pesantren.
Penulis sendiri adalah santri Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep, Madura. Di pesantren tersebut, saya belajar banyak hal mengenai signifikansinya akhlak. Mulai dari bangun tidur pagi hingga akan tidur kembali. Pendidikan akhlak bukan sekadar dipelajari secara teoretis di kelas dan terkesan monoton, tanpa perlu kontekstualisasi dalam kehidupan keseharian. Meski merasa terpaksa, penulis terus diajarkan bagaimana akhlak tersebut –meminjam istilah Prof KH Abd A’la– secara konsisten dapat dilabuhkan.
Secara tidak langsung, Pesantren Annuqayah telah merevolusi hidup penulis secara besar-besaran. Awalnya, penulis belum sepenuhnya mengetahui dan memahami secara komprehensif tentang akhlak, meskipun demikian akhlak telah menjadi hal pembiasaan dalam lingkungan keluarga penulis. Keluarga saya mendidik penulis selalu dengan akhlak. Sehingga, akhlak sudah menjadi bagian penting dari hidup penulis. Meskipun demikian, dalam istilah dalam suatu daerah, di tempat penulis dilahirkan, nama akhlak kemudian lebih dikenal dengan ilmu tengka.