Ini kisah tentang pinisepuh, generasi yang selalu membuat saya takjub. Sudah berlangsung beberapa tahun, jauh sebelum virus Corona mewabah, pinisepuh di kampung saya selalu rutin tarawih berjamaah, tapi di rumah. Kenapa?
Kampung saya, yang kebetulan berbatasan dengan desa tetangga, memiliki prasarana yang cukup untuk menjalankan ibadah. Ada masjid jami yang jadi pusat kegiatan ibadah warga. Juga banyak musala atau langgar, besar atau kecil, berkilau atau reyot, yang bertebaran di sudut-sudut kampung. Di seberang desa juga ada pesantren yang memiliki musala ukuran besar. Masjid desa tetangga juga tak jauh dari kampung saya.
Praktis, jika Ramadan tiba, kami tak akan kekurangan tempat untuk melaksanakan tarawih berjamaah. Ada masjid jami. Bertebaran pula musala atau langgar. Semua menyelenggarakan tarawih berjamaah.
Hanya, karena kebetulan warga kampung saya adalah kaum nahdliyin, maka di tiap masjid atau musala, salat tarawihnya sebanyak 20 rakaat plus tiga witir. Total 23 rakaat. Mungkin karena banyaknya rakaat itulah, maka pelaksanaan tarawih berjamaah biasanya seperti “balapan”. Cepet-cepetan, mulai dari takbir, pembacaan al-fatikhah, pembacaan surat-surat setelah al-fatikhah, rukuk-sujud, hingga salam. Soal khusyu atau tumaninah, itu nomor dua. Yang penting tarawih cepat selesai. Paling lama, jika tarawih dimulai pukul 19.00, sejam kemudian, atau lebih sedikit, jemaah sudah bubar.
Tentu saja, hanya orang-orang muda atau orang-orang dewasa yang masih sehat bugar tubuhnya, yang mampu mengikuti ritme “balapan” tarawih berjamaah tersebut —plus kanak-kanak dengan segala tingkah polahnya.
Nah, karena itulah, pinisepuh kampung saya, orang-orang yang sudah uzur usia, yang tubuhnya sudah reyot, sudah buyutan, sudah jompo, dan ketika berjalan pun harus bertumpu pada tongkat, tidak pernah tampak ikut tarawih berjamah baik di masjid maupun di langgar. Mereka tidak bertarawih? Tidak juga.
Rupanya, diam-diam mereka menyelenggarakan tarawih berjamaah sendiri. Tidak di masjid atau musala-musala, melainkan di rumah salah satu anggota “geng jompo” itu. Imamnya juga anggota “geng jompo” itu, seorang kiai kampung yang sudah sangat uzur. Jemaahnya? Belasan. Kadang puluhan orang. Mereka, tentu saja, kakek-kakek dan nenek-nenek.