Pertengahan tahun lalu,di Pondok Pesantren Al-Falah, Banjarbaru, Kalimantan Selatan digelar diskusi buku Kitab, Buku, Sepakbola; Kenangan Seorang Santri Wangal Hairus Salim HS. Diskusi buku ini dilaksanakan sebagai rangkaian acara haul ke-38 Mualim Muhammad Sani. Diskusi buku ini menjadi semacam angin segar—betapa tidak, ini merupakan diskusi buku pertama yang resmi masuk dalam agenda acara haul—sekaligus penentu nasib dunia kepenulisan di Pesantren Al-Falah.
Duskusi tersebut menghadirkan pembicara Rektor UIN Antasari Banjarmasin Prof Dr Mujiburrahman, dosen ilmu komunikasi Universitas Islam Indonesia Prof Dr rer.soc Masduki, dan tentu saja penulis buku Hairus Salim HS yang menjadi teladan santri dalam mencurahkan pemikirannya melalui tulisan.
Saya termasuk yang menaruh harapan besar atas terselenggaranya agenda ini. Maka, agar diskusi buku ini tidak menjadi sekadar euforia sepintas lalu, dalam catatan ini saya mencoba merekomendasikan beberapa usulan yang kelak dapat menjadi bahan pertimbangan serta rancangan awal untuk membangun iklim literasi yang baik.
Pertama, perpustakaan yang nyaman. Mula-mula, seorang penulis yang baik adalah pembaca tekun yang mendapatkan akses buku-buku yang berkualitas. Di Al-Falah sendiri, setidaknya memiliki dua perpustakaan: satu perpustakaan yang terletak di bagian paling belakang, sederet dengan gedung kelas dua tingkat yang pertama kali dibangun di Al-Falah. Satu perpustakaan lagi terletak di antara asrama Abu Bakar dan Baburidwan.
Di perpustakaan pertama, buku-bukunya nyaris tak tersentuh; berisikan kitab-kitab lama, konon berasal dari warisan Mualim Muhammad Sani dan jejeran buku paket pelajaran. Fungsi lazimnya perpustakaan, yaitu adanya santri yang tengah asyik membaca buku atau menulis, tidak benar-benar dijumpai di sini, selain berfungsi sebagai tempat sekadar ngobrol atau rehat di saat jam mata pelajaran kosong. Terakhir, saya mengunjungi perpustakaan ini sekitar tahun 2016, dan kondisinya masih tidak banyak berubah.
Lain halnya perpustakaan kedua. Di sini terlihat lebih bergairah; ruangannya tidak terlalu besar, buku-bukunya lebih bervariasi, dan terdapat kipas angin di dalamnya. Meski buku-bukunya “belum ramah santri”, tetapi setidaknya di jam-jam tertentu, seperti jam sekolah pada siang sampai sore hari, selalu ramai dikunjungi santri.