Revolusi Digital dan Kerusakan Mental

51 views

Manusia merupakan makhluk sosial. Maka dengan sandangan kata sosial mengharuskannya berinteraksi dengan sesamanya untuk hidup berdampingan dengan saling membutuhkan.

Namun, benarkah manusia adalah makhluk sosial? Belakangan ini, manusia sudah tidak bersosial sebagaimana mestinya. Interaksi sudah semakin buruk dengan berkembangnya teknologi. Manusia bergantung padanya dalam segala hal seolah tak ada sedetik pun melewatkan hidup tanpanya.

Advertisements

Teknologi bukan lantas momok menakutkan yang harus dihindari. Bahkan dengan tidak berteknologi akan membuat kita menjadi pribadi kolot yang akan tergerus perkembangan zaman.

Teknologi diciptakan untuk mempermudah manusia. Perlu digarisbawahi cuma sebatas “mempermudah” bukan “menggantikan” pekerjaan manusia. Manusia memanfaatkan teknologi bukan sebagai alat untuk meringankan perkerjaan, melainkan sebagai tenaga kerja, pembantu atau asisten rumah tangga untuk melakukan pekerjaannya.

Hal tersebubt merupakan mindset yang terbangun karena candu akan kenyamanan dan kepraktisan sehingga membuat manusia bermalas-malasan. Maka perlu diingat bahwa perlu adanya kontrol diri dari manusia sebagai makhluk pencipta teknologi agar tak mendistorsi, dikontrol teknologi.

Kita harus pandai dalam membedakan dampak teknologi—positif-negatifnya. Kita terlalu menyambut baik kehadiran teknologi di tengah-tengah kita. Teknologi menjadi “pahlawan” dalam kehidupan kita tanpa sedikit pun mempertanyakan, mencermati, dan mengkritisi dampaknya lebih dulu.

Di sini, kita akan membicarakan soal dampak negatif—dampak positifnya tidak menjadi persoalan yang pas untuk diprihatinkan—yang dapat merusak terhadap mental dan moral. Kita harus menghadapi era revolusi digital agar kita tetap survive dengan perkembangan zaman, tentunya dengan bekal kesiapan mental.

Manusia telah mendigitalisasi hampir segala hal dalam hidupnya. Memperalat teknologi sebagai media kebebasan dari hal-hal yang bersifat realitas. Menganggap bahwa dengan berkomunikasi dan berinteraksi melalui media digital dapat memberikan ruang sepenuhnya bagi dirinya. Kebebasan yang sesungguhnya.

Namun benarkah itu kebebasan? Saya lebih suka menyebutnya sebatas menghindar, sebagaimana pernah disinggung oleh F. Budi Hardiman dalam bukunya Aku Klik, Maka Aku Ada, bahwa manusia era ini cenderung takut menghadapi dunia nyata dengan fakta-fakta yang tak bisa di-skip sebagaimana di dunia maya—kalau tak suka. Interaksi sosial seolah musnah di tengah-tengah kita dan tergantikan oleh interaksi digital yang cakupannya luas dan universal.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan