Sudah beberapa hari ini beduk maghrib berlalu begitu saja. Tak ada lagi yang peduli dan memperhatikannya. Tidak seperti hari-hari kemarin saat Ramadhan yang kehadirannya selalu ditunggu-tunggu dan diperhatikan oleh hampir seluruh ummat Islam di dunia. Di rumah, di masjid, di musaala dan di jalanan orang-orang sibuk melakukan berbagai aktivitas untuk menyambut datangnya beduk maghrib.
Selama Ramadhan, beduk maghrib memiliki posisi yang istimewa. Begitu istimewanya, banyak aktivitas dilakukan untuk menunggu kedatangannya, mulai memasak dan menata makanan di rumah, menjajakan takjil di pinggir jalan, jalan-jalan dan berkumpul di suatu tempat sampai mengaji. Bahkan, di beberapa daerah ada tradisi khusus menunggu beduk maghrib, misalnya tradisi ngabuburit di Sunda, nyare malem di Madura, menyalakan meriam bambu di Jawa Tengah, tradisi bedil lodong di Bekasi, dan beberapa tradisi unik lainnya.
Tapi setelah Ramadhan berlalu, segala bentuk perhatian terhadap beduk maghrib itu tidak ada lagi. Kesetiaan menunggu datangnya beduk maghrib hilang bersama dengan kumandang suara takbir Idul Fitri. Begitu terdengar gema takbir, maka beduk maghrib seolah kehilangan makna. Jangankan kesetiaan atau perhatian menunggu kehadirannya, bahkan teriakannya tak dihiraukan. Begitulah nasib beduk maghrib setelah Ramadhan berlalu.
Posisi beduk maghrib di bulan Ramadhan ini seperti posisi rakyat menjelang pelaksanaan Pemilu (Pileg atau Pilkada). Di hadapan para kandidat/politisi, rakyat diperhatikan, dimanja, diburu, dan ditunggu oleh para kandidat/politisi. Seperti hal beduk maghrib saat Ramadhan, untuk mengambil hati rakyat juga dibuatkan berbagai macam kegiatan mulai blusukan, pentas seni untuk menghibur, pasang gambar di berbagai tempat, bahkan sampai mengganggu jalan dan merusak lingkungan karena dipaku di pepohonan, sampai bagi-bagi sembako dan bantuan sosial lainnya. Pendeknya, rakyat pada saat menjelang pilkada ditunggu dan diperhatikan seperti beduk maghrib saat Ramadhan.