Apakah pesantren, yang selama ini dikenal sebagai tempat pendidikan dan pembentukan akhlak dan moral, benar-benar terbebas dari perundungan?
Pada Hari Santri 2024 ini, penting bagi kita untuk merefleksikan kembali nilai-nilai yang diajarkan di pesantren dan mengeksplorasi peran santri dalam mencegah dan menanggulangi kasus perundungan. Tidak bisa dimungkiri bahwa perundungan dapat terjadi di mana saja, termasuk di pesantren. Keterbatasan fasilitas, aturan ketat, serta kehidupan komunal yang intens dapat memicu perilaku bullying di kalangan santri, yang kerap kali terabaikan atau bahkan dianggap sebagai “bagian dari pembelajaran”.
Pesantren memiliki potensi besar dalam mencegah perundungan dengan mengedepankan pendidikan karakter berbasis nilai-nilai agama. Santri diajarkan untuk menghormati orang lain, menjunjung tinggi keadilan, dan bersikap empati. Namun, apakah nilai-nilai tersebut benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari? Refleksi Hari Santri kali ini harus mengingatkan kita bahwa pendidikan karakter tidak cukup hanya diajarkan, tetapi harus diinternalisasi dan dipraktikkan oleh seluruh santri.
Membangun budaya pesantren yang inklusif dan ramah bagi semua santri adalah langkah penting dalam menanggulangi perundungan. Pesantren yang ideal bukan hanya sekadar mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menciptakan lingkungan di mana setiap santri merasa dihargai dan aman. Kehidupan pesantren yang penuh dengan aturan tidak boleh membuat kita menutup mata terhadap kemungkinan terjadinya kekerasan verbal maupun fisik. Momen Hari Santri ini seharusnya menjadi titik tolak untuk mengembangkan pesantren yang benar-benar ramah dan peduli terhadap kondisi emosional santri.
Peran guru, ustaz, dan pengasuh sangat krusial dalam mendeteksi dan mencegah kasus perundungan. Mereka bukan sekadar pengajar, tetapi juga pengasuh yang seharusnya bisa menjadi sosok tempat santri berbagi masalah. Namun, apakah mereka telah diberikan pelatihan yang cukup untuk mendeteksi tanda-tanda perundungan? Peningkatan kompetensi para pengasuh dalam mendeteksi dan menangani perundungan menjadi keharusan agar pesantren tidak lagi menjadi tempat yang melahirkan generasi yang penuh luka emosional.
Integrasi pendidikan anti-bullying dalam kurikulum pesantren perlu dipertimbangkan. Selama ini, fokus pendidikan di pesantren mungkin lebih banyak pada aspek keagamaan dan akademis, sementara isu sosial seperti perundungan sering kali diabaikan. Dengan adanya materi pendidikan tentang anti-bullying, santri dapat lebih memahami dampak buruk dari perundungan serta cara-cara untuk mencegah dan menanganinya. Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama seharusnya menjadi pionir dalam mempromosikan nilai-nilai anti-kekerasan dan inklusivitas.