Santri, Negara, dan Cermin Luka

Dalam sejarah panjang republik ini, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan keagamaan. Ia adalah urat nadi moral bangsa, tempat karakter ditempa dan nurani dijaga. Dari ruang-ruang kecil beralaskan tikar, lahir kesadaran kebangsaan, keberanian melawan penjajahan, hingga gagasan tentang kemerdekaan.

Namun entah mengapa, setiap kali tragedi menimpa pesantren, seperti ambruknya bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny. Akal sehat publik sering kali ikut runtuh. Pesantren dituding kolot, feodal, bahkan diserukan untuk dibubarkan. Tuduhan seperti itu bukan hanya tidak adil, tapi juga ahistoris.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Jejak Para Presiden di Pesantren

Tak ada satu pun presiden Indonesia yang tak bersinggungan dengan pesantren. Sukarno datang ke para kiai untuk memohon restu spiritual bagi republik muda. Soeharto, dengan segala otoritasnya, tetap berhati-hati menyentuh dunia pesantren karena ia tahu legitimasi religius tak bisa dibeli dengan kekuasaan. B.J. Habibie melihat pesantren sebagai sumber etika publik dan moralitas ilmu.

Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, adalah puncak pertemuan Islam pesantren dan politik modern. Dari rahim pesantren lahir sikap keberagamaan yang terbuka dan welas asih. Dari tradisi itulah Gus Dur berani menghapus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa dan mengembalikan kemanusiaan dalam politik.

Dalam pencalonan presiden, Megawati memahami bahwa kekuasaan tanpa sentuhan spiritual bisa kehilangan arah. Sebabnya, Ia menggandeng KH Hasyim Muzadi untuk memperkuat legitimasinya. Susilo Bambang Yudhoyono menjaga relasi dengan kalangan religius lewat majelis zikirnya. Joko Widodo menetapkan Hari Santri Nasional sebagai bentuk penghormatan negara terhadap tradisi keilmuan pesantren. Kini Prabowo Subianto berulang kali sowan ke ratusan pesantren, mencari restu doa, pertanda pesantren masih menjadi sumbu spiritual politik Indonesia.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan