Kata pahlawan kini terasa akrab, tapi kehilangan bobotnya. Setiap 10 November, kita seolah dipaksa menatap masa lalu tanpa benar-benar memahami maknanya.
Upacara digelar, doa dibacakan, dan pidato diputar berulang, seakan-akan kepahlawanan hanya warisan yang patut dikenang, bukan nilai yang harus diperjuangkan ulang. Padahal, di zaman yang serba cepat dan rasional ini, makna pahlawan justru perlu dibaca ulang: apakah kepahlawanan masih relevan di tengah masyarakat yang menuhankan efisiensi dan manfaat?

Sebagai santri, saya percaya bahwa kepahlawanan dalam Islam tak pernah semata soal perang dan senjata. Jihad bukan hanya pertempuran fisik, melainkan perjuangan moral, intelektual, dan spiritual.
Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu—sebuah perjuangan sunyi yang menuntut kesadaran dan integritas. Namun, dalam budaya modern yang dikuasai logika pragmatis, keberanian semacam itu jarang dihargai. Kita lebih memuja ketenaran daripada kejujuran, dan lebih menghargai hasil ketimbang niat dan proses.
Modernitas membentuk cara pandang baru: manusia rasional hanya menghitung untung-rugi. Pengorbanan tanpa balasan tampak bodoh; idealisme dianggap romantik. Di tengah logika semacam ini, kepahlawanan sulit mendapat tempat. Pahlawan masa kini bukan lagi mereka yang berjuang demi nilai, tetapi yang pandai mengelola citra. Heroisme bergeser dari moralitas ke popularitas. Inilah wajah rasionalitas modern yang kehilangan arah moralnya.
Islam sebenarnya menawarkan keseimbangan yang indah antara akal dan iman. Al-Qur’an mengajarkan tafakkur (berpikir) dan tadabbur (merenung), tapi juga ikhlas lillāh (ketulusan karena Allah). Pesantren, dalam konteks ini, memiliki peran penting. Ia adalah ruang di mana rasionalitas dan spiritualitas bertemu. Santri belajar berpikir kritis, tapi juga diajarkan untuk menundukkan ego di hadapan kebenaran. Di tengah masyarakat yang sibuk mengejar keuntungan, pesantren menjadi ruang sunyi tempat idealisme masih hidup.
Namun, ironi tak bisa dihindari: sebagian dunia pesantren justru mulai kehilangan semangat pembaruan. Romantisme terhadap masa lalu kadang menumpulkan keberanian berpikir. Padahal, kepahlawanan bukanlah menjaga bentuk lama, melainkan memperjuangkan nilai agar tetap relevan. Menjadi pahlawan hari ini berarti berani berpikir di luar arus, menafsirkan ulang ajaran lama tanpa kehilangan ruhnya.
