Tanggal 8-9 Maret 1989, Gus Dur diadili kiai-kiai di Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun, Cirebon, karena pandangan dan pemikirannya yang kontroversial. Hadir dalam pertemuan tersebut 200 kiai yang siap “mengadili” Gus Dur, di antaranya KH Fuad Hasyim, KH Ayip Usman Yahya, Kiai Ibnu Ubaidillah, dan Kiai Chozin Nasuha.

“Pengadilan” ini terjadi karena beberapa pernyataan dan tindakan Gus Dur yang kontroversial. Di antaranya, ucapan Asalamualaikum dapat diganti dengan selamat pagi, selamat siang, atau selamat malam. Selain itu, juga saat Gus Dur membuka acara malam puisi Yesus Kristus dan menyandingkan konsep rukun iman dan rukun Islam.

Atas pernyataan dan gagasan tersebut, Gus Dur dianggap melecehkan Islam, mau mengganti syariat Islam, bahkan ada yang menuduh Gus Dur sudah keluar dari Islam (murtad). Pernyataan Gus Dur tersebut dipandang sangat membahayakan Islam karena dapat menjadi sumber pemurtadan, sehingga mendapat ancaman hukuman yang tidak man-main.
Tuduhan lain yang tidak kalah serem adalah, Gus Dur dianggap telah mencoreng organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan menurunkan wibawa ulama karena menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Perilaku Gus dur ini dianggap menjadi bahan cemooh dan caci maki yang menimbulkan stigma buruk pada ulama/kiai dan organisasi NU.
